Sabtu, 15 Februari 2020

The Lost Country Of Ciletuh 2



Bagian ke 2 (Kesasar di Tanggeung dsk)

The lost Country
Tak lama sampailah kami di perbatasan Tanggeung. Sebuah kecamatan yang ada di Cianjur Selatan. Kotanya khas sebagi kota kecamatan yang kecil namun cukup resik. ini adalah tempat masyarakat di daerah untuk bertransaksi ekonomi. Inilah termasuk garda terdepan republik ini. Dikota kecil seperti ini  ada perputaran uang, barang maupun jasa. Ya, begitulah cara rezeki itu berputar, sebagaimana juga di banyak tempat dan daerah lainnya dimuka bumi ini.

Sebaiknya berhenti dulu untuk membeli bendera kecil agar bisa dipasang di motor. Suasana ini kan begitu terasa dalam rangka merayakan peringatan kemerdekaan Indonesia yang dari belenggu penjajahan bangsa lain. kita tentu harus ikut mensyukurinya, merasa gembira dan semoga nikmat kemerdekaan ini tidak dicabut oleh Allah SWT, aamiin.


Suasana peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke 73 ini memang terasa dimana-mana. Sepanjang perjalanan ini misalnya, dari sejak Bandung-Cianjur, Cianjur-Tanggeung, sepanjang jalan berhiaskan bendera merah putih. Tiap tempat, desa-desa saling berlomba menghiasi desanya dengan aneka umbul-umbul, bendera dan lainnya. Semangat yang terpancar dari segenap masyarakat itu pantas untuk diapresiasi, pantas untuk dikasih aplaus.

Bahkan dibeberapa tempat, rombongan kami harus terhenti karena kemacetan yang timbul oleh adanya pawai kemerdekaan. Semua lapisan masyarakat menyatu merayakan hari sakral bagi bangsa Indonesia ini, dari anak kecil, anak remaja bahkan anak remako (remaja kolot/tua).

Sayang tak banyak photo yang bisa diabadikan, sebab terlalu risih rasanya untuk ambil photo disaat kemacetan takutnya mengganggu antrian dibelakang. Sayang sekali memang momen-momen menarik itu tidak bisa berbagi. Tak terabadikan dalam lukisan kamera. Tapi tak apa sebab momen ini hampir serupa disemua tempat di Indonesia ini. saya percaya itu.
Suasana demikian ini tentu merasuki perasaan penulis juga. sehingga beberapa kali kunyanyikan saja lagu-lagu perjuangan biar berkendara juga semakin bersemangat. Biarkanlah kunyanyikan lagi lagu ini;

17 agustus tahun 45, itulah hari kemerdekaan kita,
hari merdeka nusa dan bangsa...
Hari lahirnya bangsa Indonesia.
Mer....de....ka.
Sekali merdeka tetap merdeka
Selama hayat masih dikandung badan
Kita tetap, setia, tetap sedia....
membela negara ki..taaa...

Kita tetap, setia, tetap sedia...
Mempertahankan Indonesia....

Merdeka....!!!


Tanggeung adalah kota kenangan, di sini dan daerah sekitarnya juga adalah sempat menjadi daerah perjuangan dimasa lalu. Ada banyak pahlawan tanpa tanda jasa disini. Mereka mempertaruhkan nyawanya demi Indonesia.


Bravo Cianjur Selatan, bravo Indonesia....!!!

Tak terasa karena aku sering berhenti sendiri, selalu saja aku tertinggal dari rombongan. sudah cukup jauh mereka didepan. Tak boleh nanti aku tersesat terpisah dari rombongan, kita gak tahu dimana mereka berhenti, berbelok atau apapun. Tak boleh terlalu lama terpisah sebab itu jelas melanggar kode etik. Wah, salah juga ya.

Ya sudah kucoba kejar lagi mereka se segera mungkin, dan aku kaget lah kok mereka malah berbalik arah, mau kemana...?. begitu pertanyaan pertama dalam benakku. Rupanya mereka katanya mau ambil jalan pintas. okelah maka akupun berbalik arah mengikuti saja kemana rombongan menuju. Lalu berbelok ke kiri, atau ke kanan kalau dari arah Cianjur. Terus saja mengikuti jalan berbeton yang cukup tebal juga. wah mungkin ini adalah jalan pintas yang menuju Sukabumi selatan, atau setidaknya supaya tak harus meliwati Sindangbarang mungkin.
Ya, rupanya jalur kesini juga sangat indah, menuruti punggung dan tubuh bebukitan. Meliuk kekiri, kekiri, kekiri dan kekiri. Eh ke kanan, kekanan lalu ke kiri. Begitulah terus. Seperti itu, Indah memang.


“Nyorodcod tuur” rasanya, disisi jalan ini, sebelah kanan adalah jurang-jurang yang menganga, “leuwang pisan”...jurangnya curam dan sangat dalam. tebing batu yang sangat-sangat curam.  Curamnya hampir 90 derajat. Ada perkampungan dibawah sana, rumah-rumahnya terlihat bagaikan gambar miniatur, masjid yang bagus juga seperti mainan saja. ini seakan kita berdiri  diatap gedung pencakar langit yang tanpa ada kaca atau jendela atau apapun. Terus terang sangat ngeri sekali dan rasanya ngilu-ngilu mak nyos.

Jika kita pandangi perkampungan yang ada di bawah sana, itu seperti halusinasi. Seperti tidak nyata. Ya sudah kupikir ini juga merupakan the lost country juga, negeri yang tersembunyi. Mungkin ini bisa juga dikatakan sebagai warisan dunia juga, atau geopark juga. ya begitulah kira-kira.

Perjalanan masih terlalu jauh kedepan sana. Semakin jauh, jalanan semakin buruk rupa. Yang tadinya beraspal dan berbeton, semakin jauh semakin masuk menuju ke pedalaman rupanya. Jalanan menjadi keriting, rusak dan rusak parah. Mau balik lagi itu tambah jauh tentunya. Kepalang basah kamipun lanjut saja “ngabolang”. Dasar lagi tahun politik, dimana-mana, disini juga sedang banyak baligo tentang celeg, cagub dll.

Kutanya ke penduduk, apa tadi ada rombongan motor lewat sini, ke kiri atau lurus ya..?. oh lurus katanya, belum lama katanya. Alhamdulillah lega rasanya berarti aku gak salah jalan dan mungkin sebentar lagi bisa menyusul mereka. Untunglah aku dapat menyusul, tapi yang aku susul justru juga sama sepertiku, sama-sama tertinggal. Jadinya kami berdua “atog-atogan” menyusuri jalanan yang semakin buruk ini. Temanku ini gak bisa lebih kencang lagi, jadinya akupun pelan-pelan saja karena kasian dia sendirian dan punggungnya sedang sakit sehingga beliau gak bisa lebih kencang dari ini. Jalan yang rusak parah ini hampir saja mengakibatkan temanku itu “nyuksruk” di tengah jalan yang berbatu-batu besar itu. Setengah jam ada mungkin aku menemani mang Jos ini. Tapi aku menikmatinya, enjoy.

Ah rupanya dua temanku, team sweeper juga sedang menunggu kami dipersimpangan sehabis perkebunan, dan hutan-hutan. Jalannya masuk perkampungan belok ke kanan. Kalau gak ditungguin mereka mungkin aku memutuskan jalan lurus saja, sebab jalan ke arah kanan justru lebih kecil dan kukira itu jalan mentok diperkampungan dibawah sana.

Tapi justru ke arah sanalah rupanya grup sudah ada didepan. Ya tentu saja perasaan galau tadi, menjadi lebih tenang berarti kita akan bertemu lagi dengan grup rombongan. Alhamdulillah tentunya, dan juga terima kasih kepada team sweeper.

Dan benar saja, grup sudah menunggu di sebuah perkampungan “nu teu hieum” seperti dijalanan tadi. Syukurlah mereka rupanya masih akan lama beristirahat disini.

Habis istirahat demikian kamipun berangkat lagi, tetapi kembali aku memisahkan diri dari grup, sebab aku belum sholat ashar. Tak ada waktu lagi, di depan di sebuah mesjid mustilah aku berhenti lagi dan sholat dulu.

Alhamdulillah, sholatpun sudah. Akupun “ngabret” lagi mengejar mereka. Ini lebih gila karena kau tak mau kegelapan sendiri ditengah hutan yang belum pernah di kunjungi sebelumnya. Jalanan burukpun tak ku hiraukan, tancap gas terus.

Hampir, saja tadi polisi tidur menjungkalkanku. Motor ini sampai jumping...terbang saking kencangnya laju. Ah lebih baik mengambil resiko itu jika dibanding harus kegelapan di pedalaman ini.


Aku lupa tadi, kok ini jadinya tiba di Garut ya...?, Leles. Wah rupanya di Cianjur juga ada daerah dengan nama Leles, jadi bikin baper, serasa di Leles Kadungora.

Ah rombongan belum juga tersusul. Baiklah aku berhenti dulu di jembatan ini, sungainya hampir kering tetapi yang menarik perhatianku adalah dasar sungainya yang berupa cadas kekuningan. Biar aku photo dulu lah, nanti juga mereka akan tersusul.

Rupanya dari sejak jembatan ini jalanan menjadi lebih baik, jalanan juga lebih landai, kurasa ini sudah mendekat ke arah jalan utama di pesisir pakidulan Cianjur. Itu membuat berkurang rasa ketegangan yang tadi menyelimuti pikiranku. Maklum tadi itu adalah dipedalaman, hutan-hutan yang asing dan gak tahu ujung pangkalnya.

Rupanya para rombongan sudah tak jauh dari jembatan tadi, sekarang sudah dapat kususul lagi. Plong rasanya.
Suasana sudah lebih “lenglang” disini, pepohonan dikiri kanan jalan gak serimbun tadi. Dan jalanan juga semakin bagus, ya ini adalah sedang menuju ke jalan yang benar rupanya. Aamiin.

Sebuah kota kecil, namun terlihat modern adalah sebuah persimpangan ke kiri atau ke kanan. Tentu kalau melihat geografi kita harus pilih ke kiri yang arahnya menuju selatan, kalau kekanan malah kembali ke pedalaman. Itu kalau ditebak secara sepintas pasti begitu, tapi itu gak menjamin karena boleh jadi yang kekiri keselatan itu justru didepan sana malah belok memutar ka arah hulu. Dan sebaliknya yang ke kenan malah belok ke arah hilir. Paling bagus adalah bertanya, kalau males bertanya nanti bisa kesasar di jalan. Betul gak...?.

Ya, ternyata benar. Ambil ke arah kiri ke arah yang menuju ke Tegalbuleud. Hari sudah benar-benar gelap. Kuniatkan sholat maghrib di jamak ta’khir ke isya. Perjalananpun dilanjut terus. Rupanya grup sudah terpecah dua. Ini adalah grup yang tercecer, sementara grup besar didepan sana entah sudah sampai dimana. Semua orang rupanya sama ngabret nya, dan semua juga sama gak mau kegelapan di “leuweung” tadi. Sehingga grup akhirnya dengan seleksi alam terpecah menjadi dua golongan besar. Golongan kencang sudah jauh kemana, dan golongan siput dot com ada dibelakangnya.
Ini sudah hampir setengah tujum malam loh. Jalan raya belum juga ketemu. Kami terpisah dari rombongan besar.

Dari simpang tiga ini pasti tentunya ke arah kanan. Sebab begitu menurut arah dan geografi. Tetapi para teman rupanya tadi ada yang terlanjur gak yakin sehinggga belok ke kiri untuk mencari lainnya yang katanya tadi ada yang ke arah sana.

Ya sudah kamipun menunggu beberapa saat di sini, di Sukamaju desa Jatisari Sindangbarang ini. ada delapan orang seperti kelompok yang terdampar dinegeri orang.

Sudah selesai maka kamipun lanjutkan perjalanan ke arah kanan ke arah Tegalbuleud. Bergelap-gelapan dengan kecepatan yang diatur sedang. Akhirnya tibalah di keramaian perkotaan apa ini ya...?.

Jajan dulu, beli jeruk yang dijual murah. Beli minum juga dan juga beli bensin, biarin premium juga sebab kita gak tahu berapa jauh lagi ke pom bensin didepan sana. Maklum di pesisir selatan kan sangat jarang ada pom bensin. Jangan sampai motor kehabisan bensin tentu mogok di tengah jalan. Repot kita semua.

Jam tujuh lebih sepuluh malampun kami berangkat lagi. Kini semua sudah dalam satu rombongan besar kembali. Perjalanan akan lebih tentrem  ayem.

Perkampungan-perkampungan, hutan-hutan, lembah-lembah, bukit-bukit dan gunung-gunung semua dilalui. Tak ada pemandangan, semua serba gelap.
Yang ada hanya hitam,...
Yang ada hanya kelam,....
Aku melangkah,... dengan perasaaaan....!!

Bersambung.............

Tidak ada komentar:

Posting Komentar