Tempat yang tidak diketahui ini ternyata sungguh menakjubkan. Pantaslah negeri Belanda begitu ngotot ingin terus bercokol di Indonesia, karena begitu beragamnya aneka kekayaan dan hasil bumi dari Indonesia ini. Salah satu kekayaan tak ternilai itu adalah Gunung Tilu dan Gunung Patuha di daerah Bandung Selatan ini.


Pertama kali tiba disana penulis sempat berpikir, mungkin inilah yang disebut kekayaan Indonesia itu.
Lokasinya jelas tidak diketahui banyak oleh umum, karena untuk mencapai wilayah indah ini kita harus melewati perkampungan dengan jalan yang tidak mudah untuk dikenali. Hanya karena tugas pekerjaanlah maka sang penulis pun bisa beruntung mengenal sedikit daerah tersebut. Jika tidak ada tugas pekerjaan, penulis mungkin tak akan pernah menginjakkan kaki ke daerah ini. Selain karena tidak dikenal luas oleh masyarakat juga tempatnya tersembunyi dibalik bukit dan gunung. Perlu kurang lebih dua jam dari Bandung (dengan jarak -+ 50km) untuk bisa sampai ke lokasi tersebut padahal tempatnya tidaklah terlalu jauh dari Ciwidey. Tapi karena jalannya masih terbilang kecil dan buruk menjadikannya seakan tidak dekat lagi.


Jika kalian termasuk orang yang menyukai alam, maka Gunung Tilu-Patuha ini adalah termasuk tempat yang mustinya harus kalian kunjungi, tapi ingat kemanapun kita pergi jangan meninggalkan sampah secara sembarangan, bawalah kembali sisa-sisa bawaan dan sampah yang sifatnya tak teruraikan seperti plastik, kaca beling dll. Jadilah manusia bertanggung jawab dan jangan jadi manusia yang tak berakhlak dan tak berpendidikan. Coba pikirkan, orang yang buang sampah sembarangan itu sama artinya dengan membebani alam dan orang lain. Dengan kata lain itu adalah perbuatan jahat dan dzolim. Orang dzolim niscaya tidak akan mendapat selain balasan daripada perbuatannya tersebut, dunia-akhirat.

Itulah rumus penting buat kita sebagai umat manusia yang punya akal dan juga punya hati nurani. Jadilah manusia seutuhnya yang intelek dan berkualitas tinggi. Amin.
Kembali ke Patuha.


Di kawasan Hutan ini khususnya di Cagar Alam Gunung Tilu, kita bisa dapati alam yang terbilang masih alami. Disebelah kiri jalan menuju Patuha kita akan dapati pepohonan rapat dan rindang menutupi perbukitan dan hutan. Tidak terlihat ada jejak manusia yang masuk ke dalam hutan tersebut, semuanya tertutup oleh tetumbuhan yang rapat. Kita bisa mempercayai apabila dikatakan disana masih ada didiami oleh beragam flora dan fauna yang langka seperti  jenis pepohonan tertentu dan juga jenis hewan tertentu.

Namun anehnya, justru disebelah kanan jalan tidaklah demikian adanya. Hutannya sudah tidak alami lagi, melainkan sudah melalui peran serta tangan-tangan manusia. Apalagi bila kita terus menuju keatas lagi maka ternyata disana sudah merupakan perkebunan dan bahkan ada perusahaan pembangkit listrik tenaga panas bumi alias PLTP.


Diatas sana ternyata merupakan perkebunan teh yang cukup luas, sehingga sudah jadi maklum apabila terdapat perkebunan disuatu tempat yang masih produktif maka kemungkinan ada perkampungan yang dihuni oleh para pegawai pemetik teh tersebut. Begitupun di Perkebunan Rancabolang ini. Perkampungan yang sangat terpencil dan jauh dari hiruk pikuk kehidupan umumnya. Untuk sekolah saja harus menempuh jalan yang cukup jauh, apalagi hendak ke Pasar atau Mall. Harus meliwati hutan yang gelap dan kebun yang luas. Tapi kalau bicara keindahan dan kesejukan alam maka disini termasuk juaranya. Suasana kampungnya masih tradisionil, masak memasak masih menggunakan kayu bakar. Dan air yang mengalirpun masih sangat dingin bagai air kulkas saja.

Jika kalian main ke perkampungan tersebut maka kalian akan masih mendapati masyarakatnya yang masih “cinduru dihareupeun hawu”, dan kaum lelakinya masih “cinduru di golodog” dengan sarung atau jaket yang tebal dan juga kupluk dikepala. Tak ada banyak kegiatan mereka manakala langit juga mencurahkan airnya. Apalagi kegiatan rutin mereka sudah jelas, yaitu menjadi pemetik dan pemelihara perkebunan teh. Hampir tak ada kegiatan lainnya, sehingga disaat senggang tak lain hanyalah bisa cinduru karena udaranya yang dingin, dan hendak mandipun harus sudah keterpaksaan semata. Yaitu terpaksa karena sudah seminggu tak mandi misalnya, atau “terpaksa” karena kewajiban untuk bersuci dan beribadah misalnya. Jadi kalian bisa coba sendiri datang ke kampung tersebut.

Walaupun demikian terisolirnya, tetapi sesungguhnya pengetahuan mereka tentang kelistrikan bisa jadi lebih tahu dibanding kebanyakan masyarakat pada umumnya. Kalau masyarakat Indonesia umumnya hanya mengenal listrik itu dalam bentuk jadi yang disiapkan oleh PT.PLN, maka disini lain lagi. Justru merekalah sendiri yang bisa menghasilkan energi listriknya untuk kebutuhan masing-masing rumah mereka. Mereka memproses dari titik nol hingga outputnya berupa energi listrik. Yaitu melalui mikro hydro. Sehingga bisa dikatakan bahwa mereka lebih berpengalaman dalam hal menciptakan energi listrik dibanding masyarakat lainnya yang kebutuhan listriknya sudah dipasok oleh PLN.


Nah dalam rangka Listrik Desa inilah penulis bisa nyukcruk ka ujung perkampungan seperti kampung-kampung yang ada diperkebunan teh Rancabolang ini. Di kawasan perkebunan ini setidaknya ada 4 atau lima perkampungan kecil dengan jumlah penduduk yang sangat sedikit sekali. 

Ada Rancabali, Kampung Galih (17 Rumah), Cipaku (7 Rumah) dan Lengkob (12 Rumah), serta satu lagi diujung jalan perkebunan ini yang belum penulis kunjungi yaitu kampung Cikole. Tapi disetiap kampung yang penulis kunjungi ini pasti ada masjid atau mushalanya, itu yang sangat menentramkan jiwa kita. Bahkan di salah satu mesjid yang terbesar di Rancabali ini, kita bisa menyaksikan anak-anak yang sangat bergairah ikut pengajian. Itu juga menyenangkan hati kita, sebab dengan demikian menandakan bahwa sisi keagamaan mereka tidaklah kosong. Alhamdulillah pula dalam dua kesempatan ke sana, penulis bisa merasakan sholat di tiga mesjid yang ada di Lengkob, Galih dan Rancabali tersebut. Penting untuk bisa hadir dirumah-rumah Allah SWT. Semoga menjadi do’a yang baik buat penulis sendiri, amin.

Sesungguhnya penulis berharap semoga hutan-hutan kita bisa tetap lestari dan terjaga dengan baik, karena itu menunjukkan adanya kearifan kita sebagai manusia yang modern. Karena jika hilang hutannya, maka hilang pula kesuburan tanahnya dan hilang pula sumber mata airnya untuk kepentingan hidup kita semua. Bahkan juga itu berkait dengan sumber oksigen bagi pernapasan kita. 

Jadi janganlah menjadikan diri kita menjadi manusia “bodoh” dan egois yang serampangan membabat hutan demi kekayaan pribadi, itu adalah perbuatan merugikan alam dan juga mengkhianati manusia secara keseluruhan. Itu sangat menyedihkan dan memalukan. Kita malu jika kita termasuk manusia yang tidak beradab dan tidak berperilaku baik terhadap alam ini. Juga malu sebagai manusia egois yang mementingkan dirinya sendiri dengan merugikan kelestarian alam dan bumi ini. Juga malu jika kita menghalalkan segala cara demi politik, kekuasaan dan uang partisan dengan mengorbankan akhlaq, agama dan kebenaran dll. Marilah kita menjadi manusia berguna, yang tidak murahan dan juga tidak egois.

Tetapi zaman sekarang ini, memang jauh dari harapan. Hutan makin berkurang dan terus terancam berkurang lagi. Pembalakan hutan terjadi dimanapun juga. Hutan-hutan yang rimbun dengan pepohonan dan semak kini telah berganti menjadi ladang dan kebun pertanian untuk cabai, tanaman kol, wortel, kentang dll.

Desakan pertumbuhan penduduk jelas menjadi penyebab utama dari kondisi sekarang ini. Belum lagi karena keserakahan para pemilik modal dan kaum kapitalis yang justru notabene bukan penduduk lokal. Mereka datang dari kota-kota besar, untuk memusnahkan hutan-hutan dan digantinya menjadi perkebunan kelapa sawit. Mereka menjadi semakin kaya raya dengan merampas kekayaan hutan kita, menjadikan hutan lenyap dan itu kerugian bangsa dan negara yang tak ternilai harganya.

Itulah sekilas kenyataan tentang hutan-hutan kita. Pun juga di Hutan Gunung Patuha ini, sebagian besar lahannya sudah mulai dirambah tangan-tangan manusia untuk berbagai tanaman hortikultura dan sayuran. Disisi ekologi jelas itu adalah satu kerugian besar karena akan mengurangi tutupan hutan.

Pepohonan menjadi jarang dan tidak rimbun lagi, begitupun dilantai hutan menjadi semakin bersih dari semak belukar yang mengakibatkan tanah semakin mudah tergerus erosi. Akibatnya air menjadi sangat sulit terserap bumi, sebaliknya semakin mudah dalam mengakibatkan banjir dan longsor. Unsur hara pada lapisan teratas bumi semakin lama semakin berkurang, dan akibat buruk jangka panjangnya adalah hilangnya tingkat kesuburan tanah yang bisa mengakibatkan hutan menjadi gersang dan kemudian menjadi gurun yang tandus. Naudzubillahi min dzaalik.

Oleh karena itu perlu adanya gerakan massal dan juga pendidikan yang menyeluruh agar bangsa Indonesia bisa lebih menghargai kekayaan hutannya yang tidak dimiliki oleh kebanyakan bangsa-bangsa didunia lainnya itu. Namun sayang pemerintah nampaknya kekurangan energi untuk memperhatikan semua ini. Dan kita sebagai bangsa Indonesia harus mulai merasa prihatin atas keadaan yang demikian kompleks ini. Kita akan butuh pemimpin yang tidak berorientasi kapitalis, kita akan membutuhkan pemimpin sejati yang bisa membuat negara kita jaya sejaya-jayanya.

Jangan sampai kita terlambat dalam mengantisipasi semua ini, sehingga kita perlu segera menyadarkan diri kita semua agar kita lebih perhatian terhadap kondisi di lingkungan kita ini. Kitapun tak boleh acuh tak acuh sebab persoalan yang kita hadapi saat ini akan berakibat buruk terhadap kesejahteraan kita saat ini dan juga bagi seluruh anak cucu kita kelak. Kita harus bersikap protektif terhadap sumberdaya alam kita ini agar kelangsungan bangsa Indonesia menjadi semakin terjaga untuk kedepannya. Kalau bukan kita yang peduli, lalu siapa lagi yang akan peduli...?.

Wassalam...!