EDISI SUMEDANG RAYA
(Kebon Teh Margawindu-Cisoka)
Bagian Kelima/terakhir ( Cibubut )
Setelah melewati hutan dari gunung Sabeulit ini, dengan menyusuri jalan yang lebih landai disini maka kita akan menuju kepada perkampungan pertama yang berada ditengah hutan yaitu kampung Cibubut.
Di kampung Cibubut ini ada terdapat sebuah pabrik pengolahan teh, sehingga kalau mau kita juga bisa ijin untuk melihat proses pengolahan daun teh di dalam pabrik yang terbilang sederhana sedemikian.
Warga kampung Cibubut bolehlah mereka merasa beruntung, karena disini mereka mendapati begitu melimpahnya oksigen dari hutan langsung di halaman kampung dan rumah mereka.
Kita merasakan suasana hutan disini, ya karena memang letak perkampungan ini “diriung ku leuweung geledegan”, diapit oleh hutan rimba. Suasana hutan nan tentram.
Aku pun sholatlah dahulu disini, disebuah mesjid kecil yang bersih dengan air wudu yang menyegarkan. Kulitpun kembali terasa menemukan dahaganya, dengan air yang sejuk menjadikannya kembali berseri.
Sholat sudah, menghadap Tuhan sudah. Aku merasa begitu mendalam, disini aku bisa sedikit merefleksikan kehidupan ini. Ingin kembali berdekat-dekat denganNya. Ingin rasanya bersujud lagi lebih lama dan lebih khusu’.
Tuhan inilah aku, yang sedang mencari dariMU. Engkau tahu segala salah dan kelemahanku, Engkau mengetahui semua, berharap ampunan dan juga bimbinganMu. Amin.
Maka akupun keluar mesjid dengan berat, karena masih betah ada disana. Tetapi temanku tadi mungkin terlalu lama menunggu, tentu tak boleh membuat mereka menungguku.
Akupun pulang ke rumah itu, dan benar mereka sedang tiduran karena kelelahan perjalanan yang juga ditambah karena proses metabolisme dari nasi dan lauk pauk yang belum lama tadi kami memakannya. Nuhun ibu, nuhun bapak atas jamuannya itu. Jazakumullahu khairan jaza. Amin.
Keadaan ekonomi masyarakat Cibubut ini memang sudah semakin maju kini, itu bisa kita lihat dari kondisi fisik bangunan-bangunan perumahan penduduknya dan juga oleh kegiatan ekonomi yang ada disini.
Terlihat lebih hidup dan bergeliat dibanding tentunya 15-20 tahun yang lalu. Dikampung ini bisa kita dapati bengkel motor dan juga ada pertamini, yaitu pom bensin mini. Itu menunjukkan ada geliat perekonomian disini.
Sekira tahun 1997 an penulis memang sudah pernah jalan ke sini, waktu itu bersama lima orang teman sekampung lainnya, kami melakukan tracking dengan jalan kaki melewati hutan-hutan sampai harus menginap disebuah saung ditepi hutan.
Suasana kampung Cibubut waktu itu sungguh masihlah sangat terbelakang dan sangat tradisionil. Hampir tidak ada satupun bangunan rumah bertembok, tetapi saat ini justru kebalikannya hanya terdapat sebagian kecil rumah yang masih dibuat dari kayu dan bilik bambu.
Dalam satu hal itu kemajuan, namun dalam hal lainnya mungkin itu tak melulu bisa disebut sebagai kebaikan atau kemajuan. Karena justru apabila mereka bisa lebih mempertahankan bentuk perumahan yang tradisionil itu akan lebih menarik untuk para pengunjung yang berpetualang kesana.
Model rumah adat misalnya, bisa juga dibuat menjadi lebih fungsional dan lebih modern dengan dilengkapi perkakas yang juga modern. Dan juga agar perkampungan ini terlihat lebih menyatu dengan alam disekitarnya yang berupa hutan rimba. Mungkin pemerintahan hendaknya memikirkan sisi filosofis yang demikian itu.
Tapi entahlah, dalam keadaan bagaimanapun sebagai masyarakat biasa kita tak terlalu memiliki apa-apa untuk mempengaruhi cara pikir demikian. Saran mungkin, harapan mungkin. Pilihan-pilihan yang positif, bukan negatif. Biarlah masyarakat dalam kenyataannya dengan kehidupannya yang bahagia. Upaya itu tetap diperlukan.
Tentu berharap bahwa masyarakat kita bisa semakin maju dan semakin sejahtera. Bahagia mereka adalah bahagia kita. Nestapa mereka adalah nestapa kita. Senyum dari mereka adalah surga buat kita.
Nilai spiritual yang diatas nilai material. Bila hati kita kaya dan penuh syukur dengan dilandasi rasa ketaqwaan niscaya itu akan menjadikan bumi dan isinya lebih baik dan terus semakin baik. Amin.
Dunia ini adalah rapuh. Kekayaan, ketampanan atau kepintaran semua bisa lenyap dalam hitungan second. Dan setiap saat kita bisa mati. Siap atau tidak bila waktu telah tiba, tak bisa mundur atau diundur. Hanya do’a senjata kita.
Dunia tak bisa menjadi andalan dalam kehidupan ini. Terlalu naif dan mungkin terlihat “bodoh” jika kita mengandalkan dunia dan atau pencapaian duniawi ini diatas segala-galanya. Karena hal itu jelas menunjukkan bahwa diri kita belum mencapai tarap kesadaran intelektual dan maupun spiritual, dimana kesederhanaan adalah tanda kenaikan dan “ketinggian” seseorang.
Bargaya-gaya diatas muka bumi adalah pertanda kita masih bersifat kekanak-kanakan. Bangga dengan aksesories lebaran misalnya. Seyogyanya semakin kita berumur, semakin arif dan semakin bersahajalah diri kita ini, semoga.
Kaya dan miskin bukan pilihan kita, namun usaha adalah pilihan kita. Semua aksesories yang ada jangan membuat kita jadi egois, apalagi berlaku arogan, sombong dan meremehkan orang lain. Sebaik manusia adalah yang banyak manfaat bagi semua. Merusak alam juga pertanda bahwa kita itu egois.
Maka jika pemikiran kita sudah sedewasa demikian, semoga dunia ini lebih adil, aman, sentosa dan lestari. Daaaaan seterusnya. Kondisi kesejahteraan sosial disekitar menjadi lebih baik, hubungan kemasyarakatan harmonis, tanpa ada sekat, tanpa pandang bulu dan tanpa adu golongan. Itulah masyarakat yang maju, cita-cita kita.
Demikianlah yang bisa kita ambil dari hutan Sumedang ini (Cisoka-Sabeulit).
Penulispun pulanglah, memutar melewati jalanan yang ada ke Cibugel (Jalur yang dulu ditempuh dengan tracking jalan kaki), lalu ke Darmaraja dan Situraja. Ciao....!
Wassalam.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar