DUNIA DI MASA LALU
yp 02.21
Berbicara Tentang Dunia Lama.
Sungai disini itu dulunya cukup banyak airnya, seperti sebagaimana seharusnya sebuah sungai saja. Banyak airnya, banyak juga ikan-ikan kecilnya, kerang-kerangan, tutut, lele liar, bogo, hurang, beunteur, keuyeup, dll. dan sehingga itu membuat suasananya menyenangkan dan terasa indah permai. Ditambah lagi dengan suasana perkampungan di masa lalu, cara bertani yang sangat tradisionil, bajak sapi, kerbau, itik, burung-burung riang gembira lalu lalang beterbangan diantara pepohonan, sawah-sawah dan perkampungan.
Jika datang pergantian musim, kawanan kupu-kupu kuning dan kadang kupu-kupu raksasa sering datang kesini menjadi lintasan migrasinya dari timur ke barat dan entah kemana. Beberapa mati disini dikampung ini, sisanya lalu terbang lagi ketempat yang mereka tuju, Itulah suasana kampung dahulu kala. Satu pemandangan yang tidak dijumpai lagi di zaman sekarang ini. Burung-burung sudah hilang, kacamata, cangkurileung, dll....kini sudah sulit ditemukan padahal dulu itu mereka bebas ada dihalaman rumah kita, menghiasi kampung kita.
Entah setan mana yang telah membuat manusia menangkapi mereka semua, lalu menjadi hilang dari alam ini membuat kampung ku ini tak seindah dulu lagi. Tak sepermai dahulu lagi. ENtah setan mana yang telah membuat manusia sekarang ini begitu rakus, bodoh dan gak bisa menjaga alam peninggalan para orang dahulu. Alam yang harusnya kita jaga kelestariannya, dibuat menjadi sedemikian gersangnya. Bodoh terlalu bodoh. Dungu terlalu dungu...!!.
Cukup sudah kedunguan ini jangan lagi dilanjutkan. Cukup sudah burung-burung itu kita tangkapi, kini saatnya kita rajut kembali kebaikan dari alam ini. Bumi yang sudah sakit ini, alam yang sudah tua ini dan kita juga hendaknya bisa lebih bertanggung jawab terhadap alam kita ini. Jangan seperti para penjahat yang tak pernah memikirkan kepentingan bersama, tak pernah berfikir tentang hak orang lain dari keberlanjutan alam ini. Yang mereka pikir hanya tentang diri mereka sendiri walalupun itu harus merugikan alam dan kepentingan kita bersama. Bahkan juga merugikan mereka juga. Hancurnya ekosistem ini akan kita semua tanggung bersama, termasuk mereka juga.
Alam menjadi nestapa, alam menjadi hampir tak bernyawa.
Siapa lagikah ada pejuang kehidupan ini, siapalagikah ada manusia-manusia yang peduli yang sanggup memberi pencerahan kepada kita semua sehingga kita kembali kepada sikap perilaku yang ramah lingkungan demi kelestarian alam ini....??
Sungai yang ada di lembah-lembah bukit dan persawahan adalah saksi nyata yang permai sentausa di masa silam.
Jika harus terkenang, di masa penghujan (mijih), dimasa kemarau (halodo) tetap sama menyenangkan hati. Disore menuju maghrib adalah saat yang paling ramai di pemandian umum, atau di hari minggu ketika para ibu menuju pencucian di tengah sawah yang banyak tempat pemandian (pancuran, tampian dan paciringan). atau malah disungai-sungai yang jernih airnya.
Dikala musim mandi, cuci dan kakus...maka pergi ke sungai adalah satu keseharian yang hampir sering dilakukan.
Karena itu, di musim kemarau kita mandi kakus adalah ramai-ramai pergi ke persawahan.....ada pemandian umum disana. Namun demikian, dulu kala itu, air masih cukup banyak tersedia di persawahan dari beberapa mata air yang sangat murni, bersih dan ngagenclang yang kini di zaman kiwari fenomena itu sudah punah.
Kata orang tua dulu, di atas bukit disana itu mengalir air terjun yang bisa dilihat dari kejauhan. Namun sekarang semuanya musnah terdegradasi oleh hutan-hutan di atas dibabat dan di ganti menjadi perkebunan pinus, yang katanya dan nyatanya rakus menyerap air tapi tidak baik dalam menyimpan cadangan air.
Semenjak demikian itulah air disini semakin kering kerontang. Tak ada lagi kesuburan di sawah lega, tak ada lagi kesuburan di ceruk lembah dari hutan lemah beureum dll.
Tentu saja kita merindukan suasana seperti dahulu kala, cur cor air dimana-mana bahkan cinyusu keluar dihalaman rumah-rumah warga. Air keluar tidak saja dari balik rerumputan tanah yang gembur juga bahkan dari sela cadas bebatuan. Semuanya kini telah tiada, telah hilang, punah ditelan zaman.
Bumi kita masih sama, tetapi kualitas alamnya sudah berbeda.
Hutan-hutan sudah berubah drastis, tak ada lagi hutan yang terdiri dari pepohonan Kai Rawa seperti, Pohon Kiara, Kopo, Harepang, Carelang, Dangdeur, Loa, Tisuk, Salam, Waru, Seuseureuhan, Picung, Muncang, Dadap bahkan rumpun bambu pun semakin jarang, Pohon Kawung, Asem dll pohon yang sangat baik dalam menyimpan sumber mata air.
Berharap saja kelak hutan kita ini bisa kembali lagi ke bumi kita bersama, tanah Pasundan-Pajajaran dan juga seluruh bumi di Nusantara ini. Aamiin
Sungai disini itu dulunya cukup banyak airnya, seperti sebagaimana seharusnya sebuah sungai saja. Banyak airnya, banyak juga ikan-ikan kecilnya, kerang-kerangan, tutut, lele liar, bogo, hurang, beunteur, keuyeup, dll. dan sehingga itu membuat suasananya menyenangkan dan terasa indah permai. Ditambah lagi dengan suasana perkampungan di masa lalu, cara bertani yang sangat tradisionil, bajak sapi, kerbau, itik, burung-burung riang gembira lalu lalang beterbangan diantara pepohonan, sawah-sawah dan perkampungan.
Jika datang pergantian musim, kawanan kupu-kupu kuning dan kadang kupu-kupu raksasa sering datang kesini menjadi lintasan migrasinya dari timur ke barat dan entah kemana. Beberapa mati disini dikampung ini, sisanya lalu terbang lagi ketempat yang mereka tuju, Itulah suasana kampung dahulu kala. Satu pemandangan yang tidak dijumpai lagi di zaman sekarang ini. Burung-burung sudah hilang, kacamata, cangkurileung, dll....kini sudah sulit ditemukan padahal dulu itu mereka bebas ada dihalaman rumah kita, menghiasi kampung kita.
Entah setan mana yang telah membuat manusia menangkapi mereka semua, lalu menjadi hilang dari alam ini membuat kampung ku ini tak seindah dulu lagi. Tak sepermai dahulu lagi. ENtah setan mana yang telah membuat manusia sekarang ini begitu rakus, bodoh dan gak bisa menjaga alam peninggalan para orang dahulu. Alam yang harusnya kita jaga kelestariannya, dibuat menjadi sedemikian gersangnya. Bodoh terlalu bodoh. Dungu terlalu dungu...!!.
Cukup sudah kedunguan ini jangan lagi dilanjutkan. Cukup sudah burung-burung itu kita tangkapi, kini saatnya kita rajut kembali kebaikan dari alam ini. Bumi yang sudah sakit ini, alam yang sudah tua ini dan kita juga hendaknya bisa lebih bertanggung jawab terhadap alam kita ini. Jangan seperti para penjahat yang tak pernah memikirkan kepentingan bersama, tak pernah berfikir tentang hak orang lain dari keberlanjutan alam ini. Yang mereka pikir hanya tentang diri mereka sendiri walalupun itu harus merugikan alam dan kepentingan kita bersama. Bahkan juga merugikan mereka juga. Hancurnya ekosistem ini akan kita semua tanggung bersama, termasuk mereka juga.
Alam menjadi nestapa, alam menjadi hampir tak bernyawa.
Siapa lagikah ada pejuang kehidupan ini, siapalagikah ada manusia-manusia yang peduli yang sanggup memberi pencerahan kepada kita semua sehingga kita kembali kepada sikap perilaku yang ramah lingkungan demi kelestarian alam ini....??
Sungai yang ada di lembah-lembah bukit dan persawahan adalah saksi nyata yang permai sentausa di masa silam.
Jika harus terkenang, di masa penghujan (mijih), dimasa kemarau (halodo) tetap sama menyenangkan hati. Disore menuju maghrib adalah saat yang paling ramai di pemandian umum, atau di hari minggu ketika para ibu menuju pencucian di tengah sawah yang banyak tempat pemandian (pancuran, tampian dan paciringan). atau malah disungai-sungai yang jernih airnya.
Dikala musim mandi, cuci dan kakus...maka pergi ke sungai adalah satu keseharian yang hampir sering dilakukan.
Karena itu, di musim kemarau kita mandi kakus adalah ramai-ramai pergi ke persawahan.....ada pemandian umum disana. Namun demikian, dulu kala itu, air masih cukup banyak tersedia di persawahan dari beberapa mata air yang sangat murni, bersih dan ngagenclang yang kini di zaman kiwari fenomena itu sudah punah.
Kata orang tua dulu, di atas bukit disana itu mengalir air terjun yang bisa dilihat dari kejauhan. Namun sekarang semuanya musnah terdegradasi oleh hutan-hutan di atas dibabat dan di ganti menjadi perkebunan pinus, yang katanya dan nyatanya rakus menyerap air tapi tidak baik dalam menyimpan cadangan air.
Semenjak demikian itulah air disini semakin kering kerontang. Tak ada lagi kesuburan di sawah lega, tak ada lagi kesuburan di ceruk lembah dari hutan lemah beureum dll.
Tentu saja kita merindukan suasana seperti dahulu kala, cur cor air dimana-mana bahkan cinyusu keluar dihalaman rumah-rumah warga. Air keluar tidak saja dari balik rerumputan tanah yang gembur juga bahkan dari sela cadas bebatuan. Semuanya kini telah tiada, telah hilang, punah ditelan zaman.
Bumi kita masih sama, tetapi kualitas alamnya sudah berbeda.
Hutan-hutan sudah berubah drastis, tak ada lagi hutan yang terdiri dari pepohonan Kai Rawa seperti, Pohon Kiara, Kopo, Harepang, Carelang, Dangdeur, Loa, Tisuk, Salam, Waru, Seuseureuhan, Picung, Muncang, Dadap bahkan rumpun bambu pun semakin jarang, Pohon Kawung, Asem dll pohon yang sangat baik dalam menyimpan sumber mata air.
Berharap saja kelak hutan kita ini bisa kembali lagi ke bumi kita bersama, tanah Pasundan-Pajajaran dan juga seluruh bumi di Nusantara ini. Aamiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar