Kamis, 05 Maret 2020

Matematika Agama


Matematika Agama


Tentu saja ibadah bukanlah matematika, tetapi nyatanya sebenarnya, dalam ibadah juga tidak terlepas dengan ilmu matematika. Kita belajar tentang pembagian waris, kita belajar tentang ukuran nisab dan perhitungan zakat maal, zakat emas dll. Kita juga belajar tentang hitungan pahala sholat berjamaah yang 27 kali lipat dibandingkan sholat munfaridl. Hitungan rakaat dalam sholat juga, itu adalah matematika. Tingkatan surga dan neraka juga adalah matematika. Setiap yang memerlukan perhitungan maka dia memerlukan ilmu matematika. Apalagi kalau sudah membahas ilmu falak yang menghitung waktu sholat, menghitung pergantian bulan dst.

Jadi jelas sekarang bahwa ternyata ibadah itu juga membutuhkan logika perhitungan matematika.
Berdasarkan kepada pemahaman yang demikian maka kita akan melihat peran matematika dalam memahami ibadah secara lebih seksama. Mari kita lihat contoh sebagai berikut:


Kita sering mendengar perkataan yang berupa kutipan tentang hadist Nabi Muhammad SAW bahwa, Rasulullah SAW beristighfar paling sedikit 100 kali dalam sehari. Jumlah yang 100 kali itu dalam dunia modern adalah kita sebut sebagai ilmu matematika. 100 adalah 1x100 atau 10x10, atau 20x5 dll, sehingga dengan perhitungan tersebut kita dapati angka 100. Seratus bukanlah suatu materi atau zat, tetapi seratus adalah suatu hitungan, jumlah hasil dari penambahan, perkalian dst.


Itu artinya 100 kali istighfar adalah suatu penjumlahan matematika. Sesuatu yang dapat dihitung, dapat diperhitungkan, dan kemudian dinyatakan dalam angka 100. Artinya bahwa ternyata kita boleh berhitung tentang ibadah kita. Berapa jumlah yang kita perlukan untuk mendapatkan hasil yang kita inginkan...???.
“Maka kemudian para ulama melakukan modifikasi matematis ini dalam ritual ibadah mereka”.
Para ulama berhitung, berapa kali kah suatu ibadah harus mereka kerjakan supaya dengan jumlah tersebut mereka mendapat hasil yang mereka bayangkan, yang akan mereka dapatkan dari Allah SWT dalam bentuk maghfirah, ma’rifah dan rahmahNya.

Ibadah sholatpun sesungguhnya adalah ibadah yang matematis, yang jumlahnya itu sudah diperhitungkan secara matematis juga, karena pada awalnya Allah SWT mewajibkan umat Islam ini melakukan ibadah Sholat wajib dalam sehari semalam adalah sebanyak 50 waktu (50 kali per hari). Yang kemudian karena perhitungan tertentu maka akhirnya kita hanya diwajibkan 5 kali sholat dalam satu hari; isya, subuh, dzuhur, ashar dan maghrib. Perhitungan-perhitungan demikian itu adalah sesuatu yang tidak serta merta ada, melainkan merupakan perhitungan yang kita lihat sangat sempurna, sangat matematis, sangat ilmiah. Kenapa sholat subuh sebelum terbit matahari, kenapa dzuhur disaat matahari tepat di atas bumi lebih sedikit, kenapa ashar di saat bayangan tubuh kita di saat sore hari dimana bayangan tersebut sudah lebih panjang sedikit dari tinggi tubuh kita yang sebenarnya, kenapa maghrib dilakukan ketika ada awan merah di sore hari atau di awal tenggelamnya matahari. Dan kenapa isya dikerjakan di saat malam benar-benar sepenuhnya terjadi, hilangnya awan putih di cakrawala. Semua itu adalah perhitungan yang matematis selain tentu juga perhitungan yang astronomis, agamamis, dll... dan ilmu2 lain yang antara lain kemudian terlahir karenanya dan kemudin kita semua mempelajarinya.


Ada ulama yang mengamalkan pembacaan istighfar 1000 kali dalam satu malam secara terus menerus/dawam, ada ulama yang mengamalkan baca ya latif 100 kali sehari, 1000 kali sehari dll. Itu adalah ilmu matematika. Kenapa harus 100 kali, kenapa tidak satu kali saja. Kenapa harus 5000 kali kenapa tidak 11 kali saja dst.
Ternyata para ulama sudah menyadari tentang pentingnya matematika dalam ibadah mereka, pentingnya pemahaman matematis dalam ibadah mereka, dalam ke agamaan mereka. Tentu hal itu karena mereka telah belajar banyak dari guru-guru merek, dari para ulema pendahulu mereka, dari para sahabat dan dari panutan alam sayyidina Muhammad Rasulullaah SAW. Tentu saja mereka belajar dari umat terbaik yang pernah ada yaitu kurun para sahabat, kurun para tabi’in, dan kurun para tabii’ut taabi’in, dst.

Para ulama itu belajar dari para sahabat tentang bagaimana seharusnya mereka beribadah yang benar, yang pantas buat mereka supaya mereka mendapatkan nilai tujuan dalam beragama, tujuan ibadah untuk mencapai predikat muttaqiin...orany yang bertaqwa. Dengan membuat perbandingan-perbandingan antara diri mereka dengan Rasulullah SAW dan atau dengan para pendahulu mereka yang pernah mereka ketahui, para tabi’in dan para sahabat.


Contoh paling mudah adalah tentang berapa jumlah rakaat sholat Tarawih yang dilakukan oleh Nabi SAW sendiri dan berapa yang dilakukan para sahabat (selepas meninggalnya Nabi Muhammad SAW). Itu adalah contoh paling gampang, paling ada dalilnya dan paling aktual dalam menerapkan ilmu matematika dalam beragama atau dalam beribadah.

Nabi Muhammad SAW melakukan istighfar dalam sehari sebanyak 100x, beliau tidak punya dosa yang harus di istighfari, beliau maksum, dijaga Allah SWT dari perbuatan dosa. Tapi beliau memohon ampun kepada Allah SWT 100 kali dalam sehari. Itu sungguh luar biasa, seseorang tak berdosa tapi meminta ampun kepada Allah SWT. Kalaulah kita belajar (mengambil hikmah) matematis dari contoh hadist Rasulullah SAW tersebut, maka berapakah kiranya jumlah istighfar kita, supaya kita sebagai umat akhir zaman ini bisa mendapat predikat sebagai umat yang kualitasnya  cumlaude...predikat terbaik yang setidaknya mendekati predikat yang telah didapatkan oleh Rasuulullaah SAW...????

Atau katakanlah, berapa kalikah sepantasnya kita beristighfar dalam satu hari agar kita mendapatkan predikat sebagai orang soleh, manusia yang bertaqwa, manusia yang terampuni, dst. Maka para ulama memberi contoh, membuat perhitungannya sendiri berapakah kiranya mereka berdzikir istighfar misalnya dalam satu hari satu malam......... diperbandingkan antara tingkat keimanan/ ibadah mereka sendiri dengan kualitas ibadah seorang Rasulullah SAW. Kalaulah yang tidak berdosa beristighfar 100 kali maka yang berdosa harusnya berapa kali, 10x100, 20x100 atau 100x100 alias 10.000 kali...?

Itu adalah bisa diperhitungkan sesuai kadar kita masing-masing, sesuai harapan kita masing-masing. Berapa jumlah pahala yang kita inginkan dan berapa pula amal yang harus kita lakukan.
Perhitungannya kurang lebih seperti demikian. Anda mungkin perlu beristighfar sebanyak 1000 kali sehingga dengan jumlah sebanyak itu bisa membuat kualitas istighfar kita mencapai taraf cumlaude. Jika Rasulullaah SAW 100 kali sudah dapat predikat super cumlaude, nah kalau kita yang berdosa yang dosa kita juga berbeda-beda tentu jumlah istighfarnya pun harusnya tidak sama karena jumlah dosanyapun tidak sama. Dalam hal ini maka para ulama memberikan pengalaman dalam mendekatkan dirinya kepada Allah SWT untuk diajarkan, di sharing kepada umat islam pada umumnya. Itulah kira-kira mukaddimah tentang Matematika Agama ini.

Apakah kita perlu berhitung tentang amal kita...?, ya tentu saja kita harus mulai berhitung karena hal demikian itu juga diperintahkan dalam agama kita.....”haasibuu anfusakum qobla antuhaasabu”. Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab (sebelum amal kalian diperhitungkan).

Dalam perhitungan jumlah ibadah lainpun kita harus mulai berhitung. Anda ingin disebut nyunnah, mencermin Rasulullah SAW, tetapi anda tidak bercermin terhadap diri anda sendiri. Rasulullah SAW ber sorban dikepala, anda bersorban juga tapi akhlak anda tidak mencerminkan akhlak Rasulullah SAW itu sama saja anda meruksak cermin anda sendiri... anda berjenggot layaknya Rasulullah SAW, tetapi mulut anda terlalu sering mencaci orang, menghujat berkata kotor, gibah, fitnah, itu artinya anda tidak pandai berhitung dengan diri anda sendiri, tidak pandai membandingkan diri anda dengan orang yang coba kalian tirukan perilakunya itu. Anda meniru sorbannya, tapi anda tidak meniru perilakunya....itu memalukan diri anda sendiri.

Dalam islam dikatakan, tidaklah disukai/tidak baik seseorang berpakaian yang mirip ulama tapi ilmu dan akhlaknya mirip “abu jahal” misalnya. Pakaian dan penampilan mendahului ilmu dan akhlak. Padahal, semua itu harus cocok dengan derajat amal dan akhlak kita sendiri. Sebab kalau tidak, justru pakaian kita hanya akan membuat kita sebagai meruksak citra para ulama, meruksak nama baik Rasulullah SAW.

Ooh....teryata orang berjenggot itu adalah terorist, ooh ternyata orang bergamis itu suka fitnah, suka caci maki, membuli, berbohong dst. Akhirnya orang di luar Islam akan menilai dan terlanjur menggambarkan bahwa orang berpakaian sunnah itu adalah orang yang tidak baik perilakunya, padahal pakaian tersebut juga adalah pakaian yang di kenakan oleh para ulama dan menjadi ciri pakaian “kebesaran” kaum berilmu, pakaiannya manusia terbaik, Rasulullaah SAW. Akibatnya adalah, citra ulama secara umum jadi menurun, ruksak tercederai, dst. Padahal itu terjadi karena oknum.


Jadi segala sesuatu itu harus matcing, harus sesuai dengan pribadi kita masing-masing, sebab kalau tidak setara maka pakaian atau penampilan kita itu justru menjadi tidak indah dipandang mata, menjadi tidak nyaman dilihat orang. Padahal Allahu jamiilun, yuhibbul jamaal....Allah SWT itu indah, dan menyukai segala yang terlihat indah lahir dan batin. Pakaian yang kita kenakan pun haruslah cocok, harus sesuai dengan postur, raut muka,penampilan dst, dan terutama harus sesuai dengan taraf ketaqwaan diri kita.

Pakaiannya saja yang seperti Nabi, tapi ilmu dan amalnya tidak, sesungguhnya itu adalah disebut penghinaan kepada Nabi, menjatuhkan martabatnya, bukan memulyakannya.

Anda tidak layak berkopiah, tapi anda berkopiah kemana-mana, lalu saat dimana-mana anda tidak bisa menjaga pandangan mata anda maka itu sama arti bahwa anda telah menurunkan derajat para santri, para kyai yang sudah biasa berkopiah, dst.

Harusnya dengan kopiah yang anda pakai, dengan sorban yang anda pakai, semua aksesories itu mampu membuat anda juga menjaga marwah nama baik kelakuan anda, menjaga marwah kehormtan para ulama kyai yang kalian jiplak pakaiannya tersebut. Kurang lebih seperti itu hitungannya, karena berkopiah dan bersorban adalah tidak wajib, anda hanya wajib menutup aurat dan berpakaian yang sesuai/ tercocok dengan diri kita masing-masing, rapih dan halal. Ketika anda tidak cocok dengan bergamis, karena ilmu agama anda terlalu minimalis. Tak cocok anda selalu bersarung ke pasar, tapi mata anda jelalatan kemana-mana.

Nabi Muhammad SAW, melaksanakan sholat Tarawih dan Witir di setiap malam bulan Rhamadan dengan 11 rakaat dan dilakukan secara munfarid (tidak berjamaah) . Para sahabat melaksanakan 23 rakaat dan dilakukan secara berjamaah. Kenapa bisa begitu....? apakah para sahabat itu tidak nyunnah...?. Hmmm.......apakah para sahabat itu terlalu bodoh, gak tahu hadist...?, apakah itu karena mereka melakukan pembangkangan terhadap islam....? dan secara ramai-ramai.....?.

Seakan dikatakan bahwa semua sahabat itu sesat, gak berilmu, gak tahu hadist, tidak nyunnah.....hanya kaliaan yang ngerti sunnah.......!!. hmmm....padahal mereka mendengar langsung perkataan Nabi, padahal mereka melihat langsung perbuatan Nabi, padahal mereka belajar agama secara langsung dari Nabi, bahkan dibimbing, ngobrol, bercengkrama bersama Nabi.......!!!, hijrah bersama Nabi, perang bersama Nabi, manis pahit bersama Nabi, di usir dari kampun halaman bersama Nabi. Kelaparan, kepanasan, dst. Tentu mereka lebih tahu dan lebih faham agama ini.....karena sekali lagi, mereka adalah umat Nabi yang terbaik....tak ada umat yang lebih baik dari mereka. Kamu hendak menyalahkan mereka, menganggap kamu lebih enar dan mereka bisa salah dan kamu tidak salah karenanya....?. kalian mengatakan, mereka tidak maksum, dan lalu mengatakan mereka bisa salah dan aku yang benar. Mereka pengikut Sunnah Nabi yag terbaik sepanjang masa dan lalu kamu merasa lebih sunah dari yang terbaik itu....?. Gimanakah cara memahaminya....???

Kamu mau ngikut Nabi saja, tapi kamu gak mau mengikut mereka yang paling mengikuti Nabi. Itu adalah musykillah....!!

Itulah yang kemudian mendorong penulis untuk coba mengemukakan “teori” ini, teori matematika agama.


Pertama, coba kita letakkan dulu otak kita dan kembalikan ia pada tempatnya, jangan sampai sebagian dari otak kita tidak terkumpul semua atau ada yang tercecer sebagian di pasar-pasar, di sawah, diladang, di tempat kerja dll. Anda perlu konsentrasi 100 persen supaya pemahaman anda itu utuh, tidak setengah-setengah.

Kalau sudah, mari kita cermati bersama, mari kita analisa bersama. Bisakah kita mengenal islam tanpa adanya para sahabat...????????????????? (sengaja saya perbanyak tanda tanya nya pertanda ini pertanyaan yang muskil).

Jawablah....!!!
Pantaskah kita menyebut diri kita lebih faham islam dibandingkan para sahabat.....?????????????????????????????????????????????????????????....(sengaja saya buat tada tanya lebih banyak lagi, sebagai pertanda ini pertanyaan yang super serius).

Jawablah...!!!

Kedua, Jika dua pertanyaan itu belum bisa anda jawab dengan benar, maka apapun cerita yang akan saya buat tentulah tidak akan berguna buat anda, karena anda sudah salah sejak awalnya.

Kalau 1 tambah satu saja anda sudah salah, maka perhitungan lain yang lebih menjelimet, yang lebih sulit, yang rumusnya bisa sebanyak papan tulis tidak akan bisa difahami dengan benar.
Semua yang anda lakukan itu hanya akan menjadikan seperti orang yang memperbanyak tulisan di buku-buku, di majalah, tapi hasil akhirnya adalah nol besar atau salah besar.

Jika rumus perhitungan anda sudah salah sejak awal, yang pertanda anda tidak mengerti permasalahan, anda tidak mengerti rumusan kaidah. Maka hal itu akan membuat roboh bangunan yang sedang anda kerjakan itu. Dan anda tak bisa melanjutkan ke kajian berikutnya dengan lebih benar lagi. Karena anda tidak lulus di kelas dasarnya.

Beramal tanpa ilmu
Beramal hanya mendapatkan lelahnya. Bukankah, beramal tanpa ilmu adalah sia-sia...???. Salah dalam hitungan awal, maka akan salah pula dalam hasil akhirnya. Karena begitulah cara rumus bekerja, antara satu kaidah dengan kaidah lainnya itu saling terkait dan saling menentukan hasil akhirnya.

Salah dalam memahami rumus atau kaidah dasar, maka salah pula dalam implementasi selanjutnya. Itulah teori matematika, itulah teori ilmu pengetahuan yang kita kenal.
Kalau anda tidak menerima kaidah ilmiah seperti itu, maka pastilah bukan kaidahnya yang salah, tapi itu karena ada something wrong di dalam kepala anda.

Jadi percuma saja anda melanjutkan lagi baca tulisan ini, karena itu tak akan ada faedahnya lagi buat anda, yang ada hanyalah membuat hati anda akan semakin galau/gamang, dan langkah anda bisa semakin menjauh dari kebenaran, dst.

Jadi sampai di titik ini anda harus khatamkan dulu kaidah dasarnya. Harus anda fahami dulu logikanya, atau rumusnya.

Atau apakah anda menolak logika seluruhnya...?.
Kalau anda menolak logika, perlu anda ketahui bahwa yang tidak punya logika itu adalah kalau tidak anak-anak sudah pasti mereka adalah orang tidak waras, atau orang belum waras.




Nyunnah
Jika anda sekarang merasa lebih nyunnah dari para sahabat yang empat. Sudahlah, anda sudah dipastikan bahwa anda juga akan salah dalam memahami ajaran lainnya dari agama ini. Karena cermin andanya sudah buram, karena otak andanya sudah tidak jujur.

Karena jika anda merasa bahwa anda lebih nyunnah dari para sahabat, maka anda sudah salah sejak saat anda punya pandangan seperti itu. Jadi pastikan bahwa pikiran anda jujur, hati anda bersih dan tak ada kepentingan di kepala anda selain anda hanya akan menerima sesuatu yang benar, sesuatu yang tidak kontradiksi (tidak bertolak belakang antara khayalan/anggapan anda tentang diri anda dan kenyataan diri anda dibandingkan dengan khayalan dan kenyataan tentang para sahabat).

Karena nyatanya, para sahabat itu sudah di jamin Raulullah SAW sebagai penghuni Surga. Artinya adalah, tidak mungkin sudah jika para sahabat itu melakukan sesuatu amalan yang terlarang atau bid’ah dalam agama ini. Karena siapa yang melakukan bid’ah sebagaimana dimaksud dalam hadist, maka mereka bukanlah ahli surga, tapi ahli neraka. Padahal hanya para sahabat sajalah yang benar-benar sudah terjamin Surga bagi mereka.

Bid’ah
Jika para sahabat itu melakukan bid’ah, maka tidak mungkin Nabi salah sebut bahwa mereka adalah ahli surga. Contohnya dalam hal 23 rakaat Tarawih. Orang menyebutya sebagai perbuatan bid’ah. Padahal itu dilakukan oleh para ahli Surga, dilakukan para sahabat, yang khulafaaurrasyidiin (pengganti/penerus Rasuulah SAW yang mursyid/tercerahkan), empat manusia terbaik dari umatnya Nabi Muhammad SAW.

Anda merasa lebih nyunnah DIBANDINGKAN empat manusia terbaik dari umatnya Nabi Muhammad SAW tersebut....????????????????????....
Jika itu pandanganmu......maka, sudah dipastikan ANDA TELAH GAGAL MEMAHAMI AGAMA INI.

Sudah dipastikan andalah yang salah memahami ajaran agama ini...terutama dalam hal terkait dalam memahami sunnah, makruh, haram, bid’ah, kaafir, munafik, liberal, dst. Anda harus belajar mantiq dulu mungkin, belajar logika dulu mungkin, meluruskan akal. Sebab hanya yang berakal saja yang dapat memahami dan menjalankan agama ini. La’allakum ta’qiluun, la’allakum tursyiduun...dst.

Bagaimana mungkin seseorang yang melakukan bid’ah sudah dipastikan menjadi penghuni surga. Sementara mereka yang belum dipastikan apapun, tapi justru mereka merasa dirinya telah lebih nyunnah dan telah lebih taat kepada baginda Rasulullah SAW.
Haadzihii syai’un ‘ajiib...haadzihii musykillatun jiddan. La yumkin fi wujudihi. Wahuwa faqot fii ra’yihi ...laisa fii wujuudihi....

Jadi, ketika kita ikuti para sahabat dengan melakukan sejumlah 23 rakaat sholat sunnah Tarawih maka kita adalah pantas disebut sebagai penerusnya umat yang terbaik di sepanjang masa. Yang kita ikuti adalah pengamal sunnah terbaik yang pernah ada di muka bumi ini. Dan kenapa kita tidak ikuti 11 rakaat yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW....?.

Kita harus faham dulu perbedaan kita dengan Rasulullaah SAW.
Nabi itu, tidak sholat Tarawih pun sudah pasti masuk Surga, Nabi itu tidak istghfar pun sudah pasti masuk surga. Lah kamu....????. Maunya jiplak 100 persen amalan Nabi dan berharap mendapat predikat pelaku sunnah terbaik seperti Nabi....??????. Dalam beberapa hal yang tidak ditentukan/dibatasi, berarti bisa dilakukan dengan lebih sedikit dan lebih banyak lagi dari biasanya.

Dzikir misalnya.....bisa 33 kali, bisa juga 300 kali dll. Shalat sunnah juga sama. Jika tidak dibatasi harus 11 rakaat, maka ketika kita melakukan 3 rakaat atau 23 rakaat maka itu adalah pilihanmu untuk memperbesar pahala atau memperkecil pahala. Dalam hal tarawih ini, para sahabat melakukannya 23 rakaat, dan itu yang kita teladani karena kita sama sebagai umatnya Nabi, berharap pahala yang terbaik seperti yang didapatkan oleh para sahabat sebagai para ahli Surga itu. Karena kita tidak bisa sama seperti Nabi. Kalau kita mengandalkan amalan yang dilakukan Nabi, maka dipastikan amalan kita tidak bisa mengejar amalan Nabi. Kita haus lebih giat dari Nabi, minimal dalam kuantitatif karena dalam hal kualitatif jelas kita tidak bisa mengejar kualitas ibadah nabi. Gantinya kita harus perbanyak dzikirnya, istighfarnya dst. Yang walaupun sebenarnya, diamnya Nabi adalah dzikir. Jadi, dimana kita akan mengejar ibadah kita...?.

Pahala Yang Banyak
Jika kamu ingin dapat pahala yang banyak, tapi kamu tidak melakukan amal ibadah yang banyak, jika kamu merasa cukup dengan 11 rakaat, padahal para sahabat melakukannya 23 rakaat. Selain anda tidak mengikuti amalan dari umat yang terbaik....itu juga pertanda bahwa kamu gak bisa ngukur diri.........mungkin cermin yang kamu miliki sudah menjadi kotor, sudah retak-retak dan sudah karatan, dll.

Oke.....pahamkah sampai disitu...??????????
Jika masih belum faham juga..........mungkin saja otak kita harus diistirahatkan dulu dari usuran yang rumit-rumit dalam hal masalah keseharian yang kita hadapi, lupakan dulu hutang-hutang yang mungkin melilit, atau lupakanlah dulu kegalauan yang bersemayam di dalam hati sanubari ............istighfarlah dulu 100.000 kali, mungkin dalam 1000 kali istighfar yang kita lakukan, maka ketenangan/kedamaian di dalam hati itu akan mulai terkuak, mungkin dalam 5000 istighfar itu, otak kita akan mulai jernih kembali, dan mungkin pada saat sudah 10.000 kali istighfar, akal pun sudah akan kembali lebih sehat. Itu dimaksudkan agar pemahaman kita benar-benar jujur adanya, benar-benar lurus. Tidak tertarik lagi jadi yang aneh-aneh. Cukup yang baik-baik saja. Sehingga kebenaran bisa kita dapatkan, ajaran yang lurus akan dapat kita fahami.

Maka jika hal ini sudah kita fahami, diharapkan bahwa kelak tidak ada lagi umat manusia yang dengan mudah menjudge orang sebagai bid’ah, ahli khurafat, ahli tahayul, ahli zindik, ahli neraka dst. Sehingga yang ada kemudian adalah sikap tawadlu, sikap ramah, lemah lembut tutur katanya, sopan santun perangainya, suka menyapa orang, biasa bersalaman kapan saja kita bertemu, termasuk selepas sholat berjamaah atau selepas pengajian dll.

Tak ada lagi ceramah atau khutbah jum’at yang isinya seputar bully, ujaran kebencian, fitnah, adu domba dll. Tidak ada lagi ceramah yang seakan sebagai hakim dalam mahkamah agung memvonis surga dan nerakanya orang lain. Yang ada adalah senyum yang merekah, kabar baik, kabar gembira, memberi semangat untuk sama-sama berbuat baik, berlomba-lomba  menolong orang. Itulah sesungguhnya ajaran agama kita, ajaran agama yang paling mendasar....dialah yang kita sebut sebagai akhlakul karimah.

Tidak ada lagi kesalahan pemahaman terhadap ayat....”asyidaa’u ‘alalkuffaar, ruhamaauu bainahum...” sehingga setiap melihat orang beda keyakinan tidak lagi memasang muka yang masam, benci, marah yang tak berdasar dst. Tapi benar-benar menjadi penyebar kasih sayang, penyabar, pemaaf, menolong semua orang yang bahkan berbeda agamanya. Sopan dan santun untuk semua. Itulah keindahan islam....berasal dari kata aslama, yuslimu, islaaman. Yang arti dasar kata islam itu sendiri antara lain adalah menyebar keselamatan, menebar kedamaian, menanam kebaikan perilaku dst.

Innamaa buistu li utammimaa makaarimal akhlaq....akhlak yang mulia itulah inti ajaran Islam, tujuan dari ajaran dan syariat islam......menjadi rahmatan lil ‘aalamiin.

Tujuan beribadah adalah untuk menjadi Bertaqwa
Selain kualitas ibadah, kuantitas ibadah juga sangat penting. Seseorang yang banyak berdzikir tentu akan berbeda dengan seseorang yang sedikit berdzikir.

Nabi SAW, selain kualitas ibadahnya sangat baik, juga kuantitas ibadahnya pun sangat luar biasa. Satu kali istighfarnya Nabi, barangkali belum terkejar oleh seribu kali istighfarnya kita. Satu rakaat sholat Nabi tidak akan sama dengan satu rakaatnya para sahabat, apalagi bila dibandingkan dengan kita. Maka para sahabat bisa mengukur diri, sehingga mereka memperbanyak sholat malam di bulan Rhamadan, dua kali lebih banyak dari apa yang dilakunan oleh Nabi Muhammad SAW. Dikatakan bahwa perbanyaklah kalian bersujud, karena di saat bersujud itulahsaat yang paling terdekat antara manusia dengan Tuhannya. Bagaimana mungkin kita yang jarang sekali bersujud berharap dapat predikat muttaqin seperti predikatnya mereka yang lebih banyak sujudnya dibandingkan kita.
Kita shalat 11 rakaat dengan harapan bisa mengejar kualitas ketaqwaan seperti Nabi atau para sahabat adalah seperti mimpi disiang bolong.

Anda ingin sehebat Nabi atau para sahabat, tapi kualitas iman dan kuantitas ibadah kita lebih kecil dari mereka, itu seperti perhitungan matematika sebagai berikut:

Jika manusia terbaik dengan ketaqwaan terbaik itu kita sebut sebagai 100%, maka Nabi SAW adalah satu-satuya yang bisa meraih predikat tersebut. Misal, 11 rakaat yang dilakukan oleh Nabi itu merupakan salah satu hal yang telah mengantarkan beliau pada predikat 100 % tersebut. Maka 23 rakaat yang dilakukan oleh para sahabat hanya mampu mengantarkan 95 % tingkat ketaqwaan dari 100% yang dicapai oleh Nabi SAW.

23 rakaat yang dilakukan para tabi’in barangkali hanya mampu mencapai tingkat ketaqwaan 93% dari ketaqwaan yang dimiliki oleh baginda Nabi SAW.
23 rakaat yang dilakukan oleh tabii’ut taabii’in barangkali hanya bisa mencapai 90 persennya. 23 rakaat yang dilakukan para ulama terdahulu, barangkali bisa mencapai 80 atau 85 persen.

Lalu pertanyaannya bagaimana dengan 23 rakaat yang kita lakukan....?, berapa persenkah kira-kira kita sebagai umat akhir zaman ini dapat meraih tingkat ketaqwaannya Nabi Muhammad SAW....???. Mungkin katakanlah 40 sd 60 % saja.

Lalu pertanyaan kedua, bagaimana dengan mereka yang hanya melakukannya 11 rakaat...?. Jika saja mereka yang melakukan 23 rakaat saja hanya mampu 40-60 persen maka secara logika kita bisa hitung berapa persen yang bisa didapat oleh mereka yang hanya 11 rakaat, mungkin gak sampai setengahnya orang yang melakukannya sebanyak 23 rakaat. Karena sujud mereka setengah lebih sedikit dibandingkan yang 23 rakaat. Kalau diersentasikan, baragkalai tingkat ketaqwaan yang 11 rakaat hanya mampu berada di kisaran 20-40 persen ketaqwaannya Nabi Muhammad SAW.

Dengan catatan, kualitas iman dan ibadah mereka dianggap setara. Kekhusu’annya setara, ilmunya gak jauh berbeda dst. Belum lagi jika kualitas ilmunya berbeda jauh, kualitas keikhlasannya berbeda jauh, maka semakin jauh pula perbedaan kualitas ketaqwaan diantara mereka.

Anda bersujud 11 kali , mau disamakan dengan mereka yang bersujud 23 kali adalah seperti mereka yang narik ojek 23 kali dibandingkan dengan mereka yang narik ojek sebanyak 11 kali dengan rute yang sama. Jelas tidak akan bisa sama. Nabi 11 kali  bersujud di malam rhamadan, tidak bisa disamakan dengan 11 kali sujudnya para sahabat, para tabi’in, nun apalagi dengan kita yang umat akhir zaman ini.

Jika saja kita berniat untuk mendekati tingkat ketaqwaan para auliya misalnya, maka barangkali selain kita mencontoh kualitas dan kuantitas ibadah mereka. Melakukan 23 rakaat seperti mereka, juga barangkali perlu ditambah dengan amalan lain untuk menutupi kekurangannya. Selain 23 rakaat barangkali kita butuh hatamkan alqur’an dan sedekah kambing setiap malamnya. Dan itu adalah sesuatu yang sulit kita lakukan. Sehingga wajar saja jika kita teramat sulit untuk mengejar tingkat ketaqwaan para auliya, para tabi’in dan apalagi para sahabat dan Nabi SAW.

23 rakaat kita tidaklah cukup, apalagi 11 rakaat lebih sangat tidak cukup. Raihan seseorang itu tergantung seberapa berat mereka bekerja. Orang yang berlatih lebih banyak tentu akan lebih hebat dibanding mereka yang sedikit berlatihnya. Anda berlatih sepakbola dalam semimggu hanya tiga kali, sementara orang lain berlatih sebanyak 7 kali, maka sudah tentu orang yang berlatih lebih banyak akan lebih cepat mahir dan hasilnya akan lebih hebat. Anda berdzikir 100 kali setiap hari, tidak bisa disamakan dengan mereka yang berdzikir 1000 kali. Anda tarawih 11 rakaat tiap malan rhamadan, tentu tak akan sama dengan mereka yang melakukannya dua kali lipat dibanding anda. Mereka 23 kali bersujud kepadaNya, dan anda hanya 11 kali. Samakah.....??????????????


Kalau mata pelajaran matematika agama bernilai 4 dari 10, sudah barang tentu mereka akan salah dalam memahami agama yang dalam beberapa hal termasuk kompleks ini (tidak semata tekstual, harus punya ilmu pendukungnya). Maka kiranya kita harus mulai belajar lagi tentang teori “matematika agama”.

Bandung, 04 Maret 2020
@ypidea

Tidak ada komentar:

Posting Komentar