Matematika Agama
Tentu saja ibadah bukanlah matematika, tetapi nyatanya sebenarnya,
dalam ibadah juga tidak terlepas dengan ilmu matematika. Kita belajar tentang
pembagian waris, kita belajar tentang ukuran nisab dan perhitungan zakat maal,
zakat emas dll. Kita juga belajar tentang hitungan pahala sholat berjamaah yang
27 kali lipat dibandingkan sholat munfaridl. Hitungan rakaat dalam sholat juga,
itu adalah matematika. Tingkatan surga dan neraka juga adalah matematika.
Setiap yang memerlukan perhitungan maka dia memerlukan ilmu matematika. Apalagi
kalau sudah membahas ilmu falak yang menghitung waktu sholat, menghitung pergantian
bulan dst.
Jadi jelas sekarang bahwa ternyata ibadah itu juga
membutuhkan logika perhitungan matematika.
Berdasarkan kepada pemahaman yang demikian maka kita akan
melihat peran matematika dalam memahami ibadah secara lebih seksama. Mari kita
lihat contoh sebagai berikut:
Kita sering mendengar perkataan yang berupa kutipan tentang
hadist Nabi Muhammad SAW bahwa, Rasulullah SAW beristighfar paling sedikit 100
kali dalam sehari. Jumlah yang 100 kali itu dalam dunia modern adalah kita
sebut sebagai ilmu matematika. 100 adalah 1x100 atau 10x10, atau 20x5 dll,
sehingga dengan perhitungan tersebut kita dapati angka 100. Seratus bukanlah
suatu materi atau zat, tetapi seratus adalah suatu hitungan, jumlah hasil dari
penambahan, perkalian dst.
Itu artinya 100 kali istighfar adalah suatu penjumlahan
matematika. Sesuatu yang dapat dihitung, dapat diperhitungkan, dan kemudian
dinyatakan dalam angka 100. Artinya bahwa ternyata kita boleh berhitung tentang
ibadah kita. Berapa jumlah yang kita
perlukan untuk mendapatkan hasil yang kita inginkan...???.
“Maka kemudian para
ulama melakukan modifikasi matematis
ini dalam ritual ibadah mereka”.
Para ulama berhitung, berapa kali kah suatu ibadah harus
mereka kerjakan supaya dengan jumlah tersebut mereka mendapat hasil yang mereka
bayangkan, yang akan mereka dapatkan dari Allah SWT dalam bentuk maghfirah,
ma’rifah dan rahmahNya.
Ibadah sholatpun sesungguhnya adalah ibadah yang matematis,
yang jumlahnya itu sudah diperhitungkan secara matematis juga, karena pada
awalnya Allah SWT mewajibkan umat Islam ini melakukan ibadah Sholat wajib dalam
sehari semalam adalah sebanyak 50 waktu (50 kali per hari). Yang kemudian
karena perhitungan tertentu maka akhirnya kita hanya diwajibkan 5 kali sholat
dalam satu hari; isya, subuh, dzuhur, ashar dan maghrib.
Perhitungan-perhitungan demikian itu adalah sesuatu yang tidak serta merta ada,
melainkan merupakan perhitungan yang kita lihat sangat sempurna, sangat
matematis, sangat ilmiah. Kenapa sholat subuh sebelum terbit matahari, kenapa
dzuhur disaat matahari tepat di atas bumi lebih sedikit, kenapa ashar di saat
bayangan tubuh kita di saat sore hari dimana bayangan tersebut sudah lebih
panjang sedikit dari tinggi tubuh kita yang sebenarnya, kenapa maghrib
dilakukan ketika ada awan merah di sore hari atau di awal tenggelamnya
matahari. Dan kenapa isya dikerjakan di saat malam benar-benar sepenuhnya
terjadi, hilangnya awan putih di cakrawala. Semua itu adalah perhitungan yang matematis
selain tentu juga perhitungan yang astronomis, agamamis, dll... dan ilmu2 lain
yang antara lain kemudian terlahir karenanya dan kemudin kita semua mempelajarinya.
Ada ulama yang mengamalkan pembacaan istighfar 1000 kali
dalam satu malam secara terus menerus/dawam, ada ulama yang mengamalkan baca ya
latif 100 kali sehari, 1000 kali sehari dll. Itu adalah ilmu matematika. Kenapa
harus 100 kali, kenapa tidak satu kali saja. Kenapa harus 5000 kali kenapa
tidak 11 kali saja dst.
Ternyata para ulama sudah menyadari tentang pentingnya
matematika dalam ibadah mereka, pentingnya pemahaman matematis dalam ibadah
mereka, dalam ke agamaan mereka. Tentu hal itu karena mereka telah belajar banyak
dari guru-guru merek, dari para ulema pendahulu mereka, dari para sahabat dan
dari panutan alam sayyidina Muhammad Rasulullaah SAW. Tentu saja mereka belajar
dari umat terbaik yang pernah ada yaitu kurun para sahabat, kurun para tabi’in,
dan kurun para tabii’ut taabi’in, dst.
Para ulama itu belajar dari para sahabat tentang bagaimana
seharusnya mereka beribadah yang benar, yang pantas buat mereka supaya mereka
mendapatkan nilai tujuan dalam beragama, tujuan ibadah untuk mencapai predikat
muttaqiin...orany yang bertaqwa. Dengan membuat perbandingan-perbandingan
antara diri mereka dengan Rasulullah SAW dan atau dengan para pendahulu mereka
yang pernah mereka ketahui, para tabi’in dan para sahabat.
Contoh paling mudah adalah tentang berapa jumlah rakaat
sholat Tarawih yang dilakukan oleh Nabi SAW sendiri dan berapa yang dilakukan
para sahabat (selepas meninggalnya Nabi Muhammad SAW). Itu adalah contoh paling
gampang, paling ada dalilnya dan paling aktual dalam menerapkan ilmu matematika
dalam beragama atau dalam beribadah.
Nabi Muhammad SAW melakukan istighfar dalam sehari sebanyak
100x, beliau tidak punya dosa yang harus di istighfari, beliau maksum, dijaga
Allah SWT dari perbuatan dosa. Tapi beliau memohon ampun kepada Allah SWT 100
kali dalam sehari. Itu sungguh luar biasa, seseorang tak berdosa tapi meminta
ampun kepada Allah SWT. Kalaulah kita belajar (mengambil hikmah) matematis dari
contoh hadist Rasulullah SAW tersebut, maka berapakah kiranya jumlah istighfar
kita, supaya kita sebagai umat akhir zaman ini bisa mendapat predikat sebagai
umat yang kualitasnya cumlaude...predikat terbaik yang setidaknya
mendekati predikat yang telah didapatkan oleh Rasuulullaah SAW...????
Atau katakanlah, berapa kalikah sepantasnya kita
beristighfar dalam satu hari agar kita mendapatkan predikat sebagai orang
soleh, manusia yang bertaqwa, manusia yang terampuni, dst. Maka para ulama
memberi contoh, membuat perhitungannya sendiri berapakah kiranya mereka
berdzikir istighfar misalnya dalam satu hari satu malam.........
diperbandingkan antara tingkat keimanan/ ibadah mereka sendiri dengan kualitas
ibadah seorang Rasulullah SAW. Kalaulah yang tidak berdosa beristighfar 100
kali maka yang berdosa harusnya berapa kali, 10x100, 20x100 atau 100x100 alias
10.000 kali...?
Itu adalah bisa diperhitungkan sesuai kadar kita
masing-masing, sesuai harapan kita masing-masing. Berapa jumlah pahala yang
kita inginkan dan berapa pula amal yang harus kita lakukan.
Perhitungannya kurang lebih seperti demikian. Anda mungkin perlu beristighfar sebanyak 1000 kali sehingga dengan jumlah sebanyak itu bisa membuat kualitas istighfar kita mencapai taraf cumlaude. Jika Rasulullaah SAW 100 kali sudah dapat predikat super cumlaude, nah kalau kita yang berdosa yang dosa kita juga berbeda-beda tentu jumlah istighfarnya pun harusnya tidak sama karena jumlah dosanyapun tidak sama. Dalam hal ini maka para ulama memberikan pengalaman dalam mendekatkan dirinya kepada Allah SWT untuk diajarkan, di sharing kepada umat islam pada umumnya. Itulah kira-kira mukaddimah tentang Matematika Agama ini.
Perhitungannya kurang lebih seperti demikian. Anda mungkin perlu beristighfar sebanyak 1000 kali sehingga dengan jumlah sebanyak itu bisa membuat kualitas istighfar kita mencapai taraf cumlaude. Jika Rasulullaah SAW 100 kali sudah dapat predikat super cumlaude, nah kalau kita yang berdosa yang dosa kita juga berbeda-beda tentu jumlah istighfarnya pun harusnya tidak sama karena jumlah dosanyapun tidak sama. Dalam hal ini maka para ulama memberikan pengalaman dalam mendekatkan dirinya kepada Allah SWT untuk diajarkan, di sharing kepada umat islam pada umumnya. Itulah kira-kira mukaddimah tentang Matematika Agama ini.
Apakah kita perlu berhitung tentang amal kita...?, ya tentu
saja kita harus mulai berhitung karena hal demikian itu juga diperintahkan
dalam agama kita.....”haasibuu anfusakum
qobla antuhaasabu”. Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab (sebelum
amal kalian diperhitungkan).
Dalam perhitungan jumlah ibadah lainpun kita harus mulai
berhitung. Anda ingin disebut nyunnah, mencermin Rasulullah SAW, tetapi anda
tidak bercermin terhadap diri anda sendiri. Rasulullah SAW ber sorban dikepala,
anda bersorban juga tapi akhlak anda tidak mencerminkan akhlak Rasulullah SAW
itu sama saja anda meruksak cermin anda sendiri... anda berjenggot layaknya
Rasulullah SAW, tetapi mulut anda terlalu sering mencaci orang, menghujat
berkata kotor, gibah, fitnah, itu artinya anda tidak pandai berhitung dengan
diri anda sendiri, tidak pandai membandingkan diri anda dengan orang yang coba
kalian tirukan perilakunya itu. Anda meniru sorbannya, tapi anda tidak meniru
perilakunya....itu memalukan diri anda sendiri.
Dalam islam dikatakan, tidaklah disukai/tidak baik seseorang
berpakaian yang mirip ulama tapi ilmu dan akhlaknya mirip “abu jahal” misalnya.
Pakaian dan penampilan mendahului ilmu dan akhlak. Padahal, semua itu harus cocok
dengan derajat amal dan akhlak kita sendiri. Sebab kalau tidak, justru pakaian
kita hanya akan membuat kita sebagai meruksak citra para ulama, meruksak nama
baik Rasulullah SAW.
Ooh....teryata orang berjenggot itu adalah terorist, ooh
ternyata orang bergamis itu suka fitnah, suka caci maki, membuli, berbohong dst.
Akhirnya orang di luar Islam akan menilai dan terlanjur menggambarkan bahwa
orang berpakaian sunnah itu adalah orang yang tidak baik perilakunya, padahal
pakaian tersebut juga adalah pakaian yang di kenakan oleh para ulama dan menjadi
ciri pakaian “kebesaran” kaum berilmu, pakaiannya manusia terbaik, Rasulullaah
SAW. Akibatnya adalah, citra ulama secara umum jadi menurun, ruksak tercederai,
dst. Padahal itu terjadi karena oknum.
Jadi segala sesuatu itu harus matcing, harus sesuai dengan
pribadi kita masing-masing, sebab kalau tidak setara maka pakaian atau
penampilan kita itu justru menjadi tidak indah dipandang mata, menjadi tidak
nyaman dilihat orang. Padahal Allahu jamiilun, yuhibbul jamaal....Allah SWT itu
indah, dan menyukai segala yang terlihat indah lahir dan batin. Pakaian yang
kita kenakan pun haruslah cocok, harus sesuai dengan postur, raut
muka,penampilan dst, dan terutama harus sesuai dengan taraf ketaqwaan diri
kita.
Pakaiannya saja yang seperti Nabi, tapi ilmu dan amalnya tidak,
sesungguhnya itu adalah disebut penghinaan kepada Nabi, menjatuhkan
martabatnya, bukan memulyakannya.
Anda tidak layak berkopiah, tapi anda berkopiah kemana-mana,
lalu saat dimana-mana anda tidak bisa menjaga pandangan mata anda maka itu sama
arti bahwa anda telah menurunkan derajat para santri, para kyai yang sudah
biasa berkopiah, dst.
Harusnya dengan kopiah yang anda pakai, dengan sorban yang
anda pakai, semua aksesories itu mampu membuat anda juga menjaga marwah nama
baik kelakuan anda, menjaga marwah kehormtan para ulama kyai yang kalian jiplak
pakaiannya tersebut. Kurang lebih seperti itu hitungannya, karena berkopiah dan
bersorban adalah tidak wajib, anda hanya wajib menutup aurat dan berpakaian yang
sesuai/ tercocok dengan diri kita masing-masing, rapih dan halal. Ketika anda
tidak cocok dengan bergamis, karena ilmu agama anda terlalu minimalis. Tak
cocok anda selalu bersarung ke pasar, tapi mata anda jelalatan kemana-mana.
Nabi Muhammad SAW, melaksanakan sholat Tarawih dan Witir di
setiap malam bulan Rhamadan dengan 11 rakaat dan dilakukan secara munfarid
(tidak berjamaah) . Para sahabat melaksanakan 23 rakaat dan dilakukan secara
berjamaah. Kenapa bisa begitu....? apakah para sahabat itu tidak nyunnah...?.
Hmmm.......apakah para sahabat itu terlalu bodoh, gak tahu hadist...?, apakah
itu karena mereka melakukan pembangkangan terhadap islam....? dan secara
ramai-ramai.....?.
Seakan dikatakan bahwa semua sahabat itu sesat, gak berilmu,
gak tahu hadist, tidak nyunnah.....hanya kaliaan yang ngerti sunnah.......!!.
hmmm....padahal mereka mendengar langsung perkataan Nabi, padahal mereka
melihat langsung perbuatan Nabi, padahal mereka belajar agama secara langsung
dari Nabi, bahkan dibimbing, ngobrol, bercengkrama bersama Nabi.......!!!,
hijrah bersama Nabi, perang bersama Nabi, manis pahit bersama Nabi, di usir
dari kampun halaman bersama Nabi. Kelaparan, kepanasan, dst. Tentu mereka lebih
tahu dan lebih faham agama ini.....karena sekali lagi, mereka adalah umat Nabi
yang terbaik....tak ada umat yang lebih baik dari mereka. Kamu hendak
menyalahkan mereka, menganggap kamu lebih enar dan mereka bisa salah dan kamu
tidak salah karenanya....?. kalian mengatakan, mereka tidak maksum, dan lalu
mengatakan mereka bisa salah dan aku yang benar. Mereka pengikut Sunnah Nabi
yag terbaik sepanjang masa dan lalu kamu merasa lebih sunah dari yang terbaik
itu....?. Gimanakah cara memahaminya....???
Kamu mau ngikut Nabi saja, tapi kamu gak mau mengikut mereka
yang paling mengikuti Nabi. Itu adalah musykillah....!!
Itulah yang kemudian mendorong penulis untuk coba mengemukakan
“teori” ini, teori matematika agama.
Pertama, coba kita letakkan dulu otak kita dan kembalikan ia
pada tempatnya, jangan sampai sebagian dari otak kita tidak terkumpul semua atau
ada yang tercecer sebagian di pasar-pasar, di sawah, diladang, di tempat kerja
dll. Anda perlu konsentrasi 100 persen supaya pemahaman anda itu utuh, tidak
setengah-setengah.
Kalau sudah, mari kita cermati bersama, mari kita analisa
bersama. Bisakah kita mengenal islam tanpa adanya para
sahabat...????????????????? (sengaja saya
perbanyak tanda tanya nya pertanda ini pertanyaan yang muskil).
Jawablah....!!!
Pantaskah kita menyebut diri kita lebih faham islam
dibandingkan para
sahabat.....?????????????????????????????????????????????????????????....(sengaja saya buat tada tanya lebih banyak
lagi, sebagai pertanda ini pertanyaan yang super serius).
Jawablah...!!!
Kedua, Jika dua pertanyaan itu belum bisa anda jawab dengan
benar, maka apapun cerita yang akan saya buat tentulah tidak akan berguna buat
anda, karena anda sudah salah sejak awalnya.
Kalau 1 tambah satu saja anda sudah salah, maka perhitungan
lain yang lebih menjelimet, yang lebih sulit, yang rumusnya bisa sebanyak papan
tulis tidak akan bisa difahami dengan benar.
Semua yang anda lakukan itu hanya akan menjadikan seperti orang
yang memperbanyak tulisan di buku-buku, di majalah, tapi hasil akhirnya adalah
nol besar atau salah besar.
Jika rumus perhitungan anda sudah salah sejak awal, yang pertanda
anda tidak mengerti permasalahan, anda tidak mengerti rumusan kaidah. Maka hal
itu akan membuat roboh bangunan yang sedang anda kerjakan itu. Dan anda tak
bisa melanjutkan ke kajian berikutnya dengan lebih benar lagi. Karena anda
tidak lulus di kelas dasarnya.
Beramal tanpa ilmu
Beramal hanya mendapatkan lelahnya. Bukankah, beramal tanpa
ilmu adalah sia-sia...???. Salah dalam hitungan awal, maka akan salah pula dalam
hasil akhirnya. Karena begitulah cara rumus bekerja, antara satu kaidah dengan
kaidah lainnya itu saling terkait dan saling menentukan hasil akhirnya.
Salah dalam memahami rumus atau kaidah dasar, maka salah
pula dalam implementasi selanjutnya. Itulah teori matematika, itulah teori ilmu
pengetahuan yang kita kenal.
Kalau anda tidak menerima kaidah ilmiah seperti itu, maka
pastilah bukan kaidahnya yang salah, tapi itu karena ada something wrong di
dalam kepala anda.
Jadi percuma saja anda melanjutkan lagi baca tulisan ini,
karena itu tak akan ada faedahnya lagi buat anda, yang ada hanyalah membuat hati
anda akan semakin galau/gamang, dan langkah anda bisa semakin menjauh dari
kebenaran, dst.
Jadi sampai di titik ini anda harus khatamkan dulu kaidah
dasarnya. Harus anda fahami dulu logikanya, atau rumusnya.
Atau apakah anda menolak logika seluruhnya...?.
Kalau anda menolak logika, perlu anda ketahui bahwa yang
tidak punya logika itu adalah kalau tidak anak-anak sudah pasti mereka adalah
orang tidak waras, atau orang belum waras.
Nyunnah
Jika anda sekarang merasa lebih nyunnah dari para sahabat
yang empat. Sudahlah, anda sudah dipastikan bahwa anda juga akan salah dalam
memahami ajaran lainnya dari agama ini. Karena cermin andanya sudah buram,
karena otak andanya sudah tidak jujur.
Karena jika anda merasa bahwa anda lebih nyunnah dari para
sahabat, maka anda sudah salah sejak saat anda punya pandangan seperti itu.
Jadi pastikan bahwa pikiran anda jujur, hati anda bersih dan tak ada
kepentingan di kepala anda selain anda hanya akan menerima sesuatu yang benar,
sesuatu yang tidak kontradiksi (tidak
bertolak belakang antara khayalan/anggapan anda tentang diri anda dan kenyataan
diri anda dibandingkan dengan khayalan dan kenyataan tentang para sahabat).
Karena nyatanya, para sahabat itu sudah di jamin Raulullah
SAW sebagai penghuni Surga. Artinya adalah, tidak mungkin sudah jika para
sahabat itu melakukan sesuatu amalan yang terlarang atau bid’ah dalam agama
ini. Karena siapa yang melakukan bid’ah sebagaimana dimaksud dalam hadist, maka
mereka bukanlah ahli surga, tapi ahli neraka. Padahal hanya para sahabat
sajalah yang benar-benar sudah terjamin Surga bagi mereka.
Bid’ah
Jika para sahabat itu melakukan bid’ah, maka tidak mungkin Nabi
salah sebut bahwa mereka adalah ahli surga. Contohnya dalam hal 23 rakaat
Tarawih. Orang menyebutya sebagai perbuatan bid’ah. Padahal itu dilakukan oleh
para ahli Surga, dilakukan para sahabat, yang khulafaaurrasyidiin
(pengganti/penerus Rasuulah SAW yang mursyid/tercerahkan), empat manusia
terbaik dari umatnya Nabi Muhammad SAW.
Anda merasa lebih nyunnah DIBANDINGKAN empat manusia terbaik
dari umatnya Nabi Muhammad SAW tersebut....????????????????????....
Jika itu pandanganmu......maka, sudah dipastikan ANDA TELAH GAGAL MEMAHAMI AGAMA INI.
Sudah dipastikan andalah yang salah memahami ajaran agama
ini...terutama dalam hal terkait dalam memahami sunnah, makruh, haram, bid’ah,
kaafir, munafik, liberal, dst. Anda harus belajar mantiq dulu mungkin, belajar
logika dulu mungkin, meluruskan akal. Sebab hanya yang berakal saja yang dapat
memahami dan menjalankan agama ini. La’allakum ta’qiluun, la’allakum
tursyiduun...dst.
Bagaimana mungkin seseorang yang melakukan bid’ah sudah
dipastikan menjadi penghuni surga. Sementara mereka yang belum dipastikan
apapun, tapi justru mereka merasa dirinya telah lebih nyunnah dan telah lebih
taat kepada baginda Rasulullah SAW.
Haadzihii syai’un
‘ajiib...haadzihii musykillatun jiddan. La yumkin fi wujudihi. Wahuwa faqot fii
ra’yihi ...laisa fii wujuudihi....
Jadi, ketika kita ikuti para sahabat dengan melakukan
sejumlah 23 rakaat sholat sunnah Tarawih maka kita adalah pantas disebut
sebagai penerusnya umat yang terbaik di sepanjang masa. Yang kita ikuti adalah
pengamal sunnah terbaik yang pernah ada di muka bumi ini. Dan kenapa kita tidak
ikuti 11 rakaat yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW....?.
Kita harus faham dulu perbedaan kita dengan Rasulullaah SAW.
Nabi itu, tidak sholat Tarawih pun sudah pasti masuk Surga,
Nabi itu tidak istghfar pun sudah pasti masuk surga. Lah kamu....????. Maunya
jiplak 100 persen amalan Nabi dan berharap mendapat predikat pelaku sunnah terbaik
seperti Nabi....??????. Dalam beberapa hal yang tidak ditentukan/dibatasi,
berarti bisa dilakukan dengan lebih sedikit dan lebih banyak lagi dari
biasanya.
Dzikir misalnya.....bisa 33 kali, bisa juga 300 kali dll. Shalat sunnah juga sama. Jika tidak dibatasi harus 11 rakaat, maka ketika kita melakukan 3 rakaat atau 23 rakaat maka itu adalah pilihanmu untuk memperbesar pahala atau memperkecil pahala. Dalam hal tarawih ini, para sahabat melakukannya 23 rakaat, dan itu yang kita teladani karena kita sama sebagai umatnya Nabi, berharap pahala yang terbaik seperti yang didapatkan oleh para sahabat sebagai para ahli Surga itu. Karena kita tidak bisa sama seperti Nabi. Kalau kita mengandalkan amalan yang dilakukan Nabi, maka dipastikan amalan kita tidak bisa mengejar amalan Nabi. Kita haus lebih giat dari Nabi, minimal dalam kuantitatif karena dalam hal kualitatif jelas kita tidak bisa mengejar kualitas ibadah nabi. Gantinya kita harus perbanyak dzikirnya, istighfarnya dst. Yang walaupun sebenarnya, diamnya Nabi adalah dzikir. Jadi, dimana kita akan mengejar ibadah kita...?.
Dzikir misalnya.....bisa 33 kali, bisa juga 300 kali dll. Shalat sunnah juga sama. Jika tidak dibatasi harus 11 rakaat, maka ketika kita melakukan 3 rakaat atau 23 rakaat maka itu adalah pilihanmu untuk memperbesar pahala atau memperkecil pahala. Dalam hal tarawih ini, para sahabat melakukannya 23 rakaat, dan itu yang kita teladani karena kita sama sebagai umatnya Nabi, berharap pahala yang terbaik seperti yang didapatkan oleh para sahabat sebagai para ahli Surga itu. Karena kita tidak bisa sama seperti Nabi. Kalau kita mengandalkan amalan yang dilakukan Nabi, maka dipastikan amalan kita tidak bisa mengejar amalan Nabi. Kita haus lebih giat dari Nabi, minimal dalam kuantitatif karena dalam hal kualitatif jelas kita tidak bisa mengejar kualitas ibadah nabi. Gantinya kita harus perbanyak dzikirnya, istighfarnya dst. Yang walaupun sebenarnya, diamnya Nabi adalah dzikir. Jadi, dimana kita akan mengejar ibadah kita...?.
Pahala Yang Banyak
Jika kamu ingin dapat pahala yang banyak, tapi kamu tidak
melakukan amal ibadah yang banyak, jika kamu merasa cukup dengan 11 rakaat,
padahal para sahabat melakukannya 23 rakaat. Selain anda tidak mengikuti amalan
dari umat yang terbaik....itu juga pertanda bahwa kamu gak bisa ngukur
diri.........mungkin cermin yang kamu miliki sudah menjadi kotor, sudah retak-retak
dan sudah karatan, dll.
Oke.....pahamkah sampai disitu...??????????
Jika masih belum faham juga..........mungkin saja otak kita
harus diistirahatkan dulu dari usuran yang rumit-rumit dalam hal masalah keseharian
yang kita hadapi, lupakan dulu hutang-hutang yang mungkin melilit, atau lupakanlah
dulu kegalauan yang bersemayam di dalam hati sanubari ............istighfarlah
dulu 100.000 kali, mungkin dalam 1000 kali istighfar yang kita lakukan, maka
ketenangan/kedamaian di dalam hati itu akan mulai terkuak, mungkin dalam 5000
istighfar itu, otak kita akan mulai jernih kembali, dan mungkin pada saat sudah
10.000 kali istighfar, akal pun sudah akan kembali lebih sehat. Itu dimaksudkan
agar pemahaman kita benar-benar jujur adanya, benar-benar lurus. Tidak tertarik
lagi jadi yang aneh-aneh. Cukup yang baik-baik saja. Sehingga kebenaran bisa
kita dapatkan, ajaran yang lurus akan dapat kita fahami.
Maka jika hal ini sudah kita fahami, diharapkan bahwa kelak
tidak ada lagi umat manusia yang dengan mudah menjudge orang sebagai bid’ah,
ahli khurafat, ahli tahayul, ahli zindik, ahli neraka dst. Sehingga yang ada
kemudian adalah sikap tawadlu, sikap ramah, lemah lembut tutur katanya, sopan
santun perangainya, suka menyapa orang, biasa bersalaman kapan saja kita bertemu,
termasuk selepas sholat berjamaah atau selepas pengajian dll.
Tak ada lagi ceramah atau khutbah jum’at yang isinya seputar
bully, ujaran kebencian, fitnah, adu domba dll. Tidak ada lagi ceramah yang
seakan sebagai hakim dalam mahkamah agung memvonis surga dan nerakanya orang
lain. Yang ada adalah senyum yang merekah, kabar baik, kabar gembira, memberi semangat
untuk sama-sama berbuat baik, berlomba-lomba
menolong orang. Itulah sesungguhnya ajaran agama kita, ajaran agama yang
paling mendasar....dialah yang kita sebut sebagai akhlakul karimah.
Tidak ada lagi kesalahan pemahaman terhadap
ayat....”asyidaa’u ‘alalkuffaar, ruhamaauu bainahum...” sehingga setiap melihat
orang beda keyakinan tidak lagi memasang muka yang masam, benci, marah yang tak
berdasar dst. Tapi benar-benar menjadi penyebar kasih sayang, penyabar, pemaaf,
menolong semua orang yang bahkan berbeda agamanya. Sopan dan santun untuk
semua. Itulah keindahan islam....berasal dari kata aslama, yuslimu, islaaman. Yang
arti dasar kata islam itu sendiri antara lain adalah menyebar keselamatan,
menebar kedamaian, menanam kebaikan perilaku dst.
Innamaa buistu li utammimaa makaarimal akhlaq....akhlak yang
mulia itulah inti ajaran Islam, tujuan dari ajaran dan syariat islam......menjadi
rahmatan lil ‘aalamiin.
Tujuan beribadah
adalah untuk menjadi Bertaqwa
Selain kualitas ibadah, kuantitas ibadah juga sangat
penting. Seseorang yang banyak berdzikir tentu akan berbeda dengan seseorang
yang sedikit berdzikir.
Nabi SAW, selain kualitas ibadahnya sangat baik, juga
kuantitas ibadahnya pun sangat luar biasa. Satu kali istighfarnya Nabi,
barangkali belum terkejar oleh seribu kali istighfarnya kita. Satu rakaat
sholat Nabi tidak akan sama dengan satu rakaatnya para sahabat, apalagi bila
dibandingkan dengan kita. Maka para sahabat bisa mengukur diri, sehingga mereka
memperbanyak sholat malam di bulan Rhamadan, dua kali lebih banyak dari apa
yang dilakunan oleh Nabi Muhammad SAW. Dikatakan bahwa perbanyaklah kalian
bersujud, karena di saat bersujud itulahsaat yang paling terdekat antara
manusia dengan Tuhannya. Bagaimana mungkin kita yang jarang sekali bersujud
berharap dapat predikat muttaqin seperti predikatnya mereka yang lebih banyak
sujudnya dibandingkan kita.
Kita shalat 11 rakaat dengan harapan bisa mengejar kualitas
ketaqwaan seperti Nabi atau para sahabat adalah seperti mimpi disiang bolong.
Anda ingin sehebat Nabi atau para sahabat, tapi kualitas
iman dan kuantitas ibadah kita lebih kecil dari mereka, itu seperti perhitungan
matematika sebagai berikut:
Jika manusia terbaik dengan ketaqwaan terbaik itu kita sebut
sebagai 100%, maka Nabi SAW adalah satu-satuya yang bisa meraih predikat
tersebut. Misal, 11 rakaat yang dilakukan oleh Nabi itu merupakan salah satu
hal yang telah mengantarkan beliau pada predikat 100 % tersebut. Maka 23 rakaat
yang dilakukan oleh para sahabat hanya mampu mengantarkan 95 % tingkat
ketaqwaan dari 100% yang dicapai oleh Nabi SAW.
23 rakaat yang dilakukan para tabi’in barangkali hanya mampu
mencapai tingkat ketaqwaan 93% dari ketaqwaan yang dimiliki oleh baginda Nabi
SAW.
23 rakaat yang dilakukan oleh tabii’ut taabii’in barangkali
hanya bisa mencapai 90 persennya. 23 rakaat yang dilakukan para ulama
terdahulu, barangkali bisa mencapai 80 atau 85 persen.
Lalu pertanyaannya bagaimana dengan 23 rakaat yang kita
lakukan....?, berapa persenkah kira-kira kita sebagai umat akhir zaman ini
dapat meraih tingkat ketaqwaannya Nabi Muhammad SAW....???. Mungkin katakanlah
40 sd 60 % saja.
Lalu pertanyaan kedua, bagaimana dengan mereka yang hanya
melakukannya 11 rakaat...?. Jika saja mereka yang melakukan 23 rakaat saja
hanya mampu 40-60 persen maka secara logika kita bisa hitung berapa persen yang
bisa didapat oleh mereka yang hanya 11 rakaat, mungkin gak sampai setengahnya
orang yang melakukannya sebanyak 23 rakaat. Karena sujud mereka setengah lebih
sedikit dibandingkan yang 23 rakaat. Kalau diersentasikan, baragkalai tingkat
ketaqwaan yang 11 rakaat hanya mampu berada di kisaran 20-40 persen
ketaqwaannya Nabi Muhammad SAW.
Dengan catatan, kualitas iman dan ibadah mereka dianggap
setara. Kekhusu’annya setara, ilmunya gak jauh berbeda dst. Belum lagi jika
kualitas ilmunya berbeda jauh, kualitas keikhlasannya berbeda jauh, maka semakin
jauh pula perbedaan kualitas ketaqwaan diantara mereka.
Anda bersujud 11 kali , mau disamakan dengan mereka yang
bersujud 23 kali adalah seperti mereka yang narik ojek 23 kali dibandingkan
dengan mereka yang narik ojek sebanyak 11 kali dengan rute yang sama. Jelas
tidak akan bisa sama. Nabi 11 kali
bersujud di malam rhamadan, tidak bisa disamakan dengan 11 kali sujudnya
para sahabat, para tabi’in, nun apalagi dengan kita yang umat akhir zaman ini.
Jika saja kita berniat untuk mendekati tingkat ketaqwaan para
auliya misalnya, maka barangkali selain kita mencontoh kualitas dan kuantitas
ibadah mereka. Melakukan 23 rakaat seperti mereka, juga barangkali perlu
ditambah dengan amalan lain untuk menutupi kekurangannya. Selain 23 rakaat
barangkali kita butuh hatamkan alqur’an dan sedekah kambing setiap malamnya.
Dan itu adalah sesuatu yang sulit kita lakukan. Sehingga wajar saja jika kita
teramat sulit untuk mengejar tingkat ketaqwaan para auliya, para tabi’in dan
apalagi para sahabat dan Nabi SAW.
23 rakaat kita tidaklah cukup, apalagi 11 rakaat lebih
sangat tidak cukup. Raihan seseorang itu tergantung seberapa berat mereka
bekerja. Orang yang berlatih lebih banyak tentu akan lebih hebat dibanding
mereka yang sedikit berlatihnya. Anda berlatih sepakbola dalam semimggu hanya
tiga kali, sementara orang lain berlatih sebanyak 7 kali, maka sudah tentu
orang yang berlatih lebih banyak akan lebih cepat mahir dan hasilnya akan lebih
hebat. Anda berdzikir 100 kali setiap hari, tidak bisa disamakan dengan mereka
yang berdzikir 1000 kali. Anda tarawih 11 rakaat tiap malan rhamadan, tentu tak
akan sama dengan mereka yang melakukannya dua kali lipat dibanding anda. Mereka
23 kali bersujud kepadaNya, dan anda hanya 11 kali. Samakah.....??????????????
Kalau mata pelajaran matematika agama bernilai 4 dari 10,
sudah barang tentu mereka akan salah dalam memahami agama yang dalam beberapa
hal termasuk kompleks ini (tidak semata tekstual, harus punya ilmu
pendukungnya). Maka kiranya kita harus mulai belajar lagi tentang teori “matematika agama”.
Bandung, 04 Maret 2020
@ypidea
Tidak ada komentar:
Posting Komentar